ETNIKOM.NET, JAKARTA — Kampus, sarjana dan para akademisi mempunyai tanggung jawab tidak hanya moral tetapi juga tanggung jawab sosial yaitu dengan melaksanakan apa yang harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan, kecakapan dan kemahiran yang telah dikuasai, yang tentu harus berbasis etika, nilai yang dijunjung tinggi.
Demikian dikatakan Prof. Muhadjir Effendi saat wisuda sarjana dan Pascasarjana (Magister) di Universitas Paramadina, Rabu (28/5/25).
Muhadjir menambahkan, gambar besar Indonesia bercampur antara antara optimisme dan kewaspadaan. Ada banyak alasan untuk optimis terhadap masa depan Indonesia, sebagai negara yang menempati peringkat pertama dalam katagori negara dengan tingkat kesejateraan subjektif (flourishing).
“Ini terlhat dari studi global dari Universitas Harvard, Universitas Baylor dan Gallup tahun 2024. Artinya, Orang Indonesia adalah orang yang paling puas dan paling bersyukur dengan kehidupannya, bahkan dibanding negara-negara maju sekalipun.” Ujar Muhadjir.
Namun di sisi lain, tambahnya, tantangan nyata masih berada dihadapkan kita yaitu masalah ketimpangan dan kemiskinan.
Kita lañjut Muhadjir, tidak bisa hanya puas karena adanya persepsi kebahagiaan saja tetapi juga harus jujur pada realitas objektif yang senyatanya yang harus diatasi bersama. Yaitu adanya ketimpangan yang masih tinggi (indeks Gini 0,379).
“Lebarnya jurang pemisah antara segelintir orang yang kaya raya dengan sekelompok besar rakyat yang masih terbelit oleh lingkaran setan kemiskinan (vicious circle of poverty).” Ucap Muhadjir.
Dari sisi lain, Muhadjir menambahkan Bank Dunia menyebutkan indikasi lain bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, data resmi dari BPS, tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa. Ini berbeda karena indikatornya jauh berbeda.
Sebagai contoh versi BPS, lanjut Muhadjir, jika suatu keluarga terdiri dari lima jiwa, berpenghasilan sekitar 3 juta rupiah ke atas, maka tidak termasuk keluarga miskin. Sementara itu, bersi Bank Dunia apabila dalam suatu keluarga terdapat lima jiwa, berpenghasilan sekitar 17 juta rupiah ke atas baru disebut bukan keluarga miskin.
“Bagaimana menyikapi angka berbeda ini? Ya harus bijaksana. Kalau kita hanya memakai standar minimum nasional, kita bisa merasa sudah berhasil, padahal kenyataannya sebagian besar rakyat masih belum mencapai standar hidup yang bermartabat sesuai dengan tingkat perkembangan ekonomi kita.” Ujar Muhadjir.
Tapi memang harus diakui lanjutnya lagi, penerapan standar Bank Dunia sepenuhnya tanpa ada reserve juga tidak sesuai dengan keadaan di lapangan. Keluarga yang berpenghasilan 17 juga sudah lebih dari cukup, apalagi di daerah. Isunya, masalah kemiskinan adalah isu bersama yang terus harus diperangi seterusnya.
Menurut Muhadjir, isu terakhir bagi Indonesia ke depan adalah etika dalam pembangunan sebagai kompas bagi masa depan bangsa. Etika menduduki tempat yang sangat vital dalam pembangunan. Pembangunan yang inklusif dan mempertimbangkan betul dari sisi baik-buruk. Tidak hanya mengejar angka pertumbuhan saja, tetapi juga harus memastikan tak ada yang tertinggal, mengoreksi ketimpangan akses, dan menjunjung martabat manusia, bukan hanya statistik.
Etika, aku Muhadjir, menuntun kita untuk tidak puas hanya dengan penurunan angka kemiskinan versi nasional, melainkan mendorong kebijakan yang menaikkan standar hidup rata-rata, sehingga selaras dengan kedudukan Indonesia sebagai negara berkembang maju.
“Pembangunan sejati bukanlah tentang seberapa cepat kita maju, tetapi seberapa banyak yang kita ajak maju bersama.” Tegas Muhadjir.
“Isu keadilan jangan sekali-kali dilupakan. Potret pembangunan ke depan harus inklusif dalam berkebijakan, etis dalam pendekatan, metode dan tindakan, dan mengedepankan visi ke depan, berkesinambungan dan berkelanjutan.” Imbuhnya.[]