Penulis: Hildayanti Yunus|Staf Dinas Perpustakaan dan Kearsipan
ETNIKOM.NET, JAKARTA – Perbedaan antara standar kemiskinan nasional Indonesia dan standar global yang digunakan oleh Bank Dunia menciptakan fenomena kemiskinan tersembunyi dalam angka statistik. Meskipun data resmi menunjukkan penurunan angka kemiskinan, banyak masyarakat yang masih hidup dalam kondisi rentan dan tidak tercakup dalam definisi kemiskinan resmi.
Perbedaan Standar Kemiskinan: BPS vs. Bank Dunia
Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan pendekatan Cost of Basic Needs (CBN) untuk menentukan garis kemiskinan. Metode ini menghitung pengeluaran minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar, baik makanan maupun non-makanan.
Per September 2024, garis kemiskinan nasional ditetapkan sebesar Rp595.242 per kapita per bulan, dengan 74,5% dialokasikan untuk kebutuhan makanan dan 25,5% untuk non-makanan .
Sementara itu, Bank Dunia menggunakan standar garis kemiskinan global berdasarkan Purchasing Power Parity (PPP). Untuk negara berpendapatan menengah seperti Indonesia, garis kemiskinan ditetapkan sebesar US$6,85 PPP per kapita per hari. Dengan kurs PPP tahun 2024 setara Rp5.993,03 per US$, ini berarti sekitar Rp41.053 per hari atau Rp1,23 juta per bulan. Berdasarkan standar ini, sekitar 60,3% penduduk Indonesia, atau sekitar 171,8 juta jiwa, dikategorikan sebagai miskin
Kemiskinan Tersembunyi dalam Angka
Perbedaan metodologi ini menimbulkan fenomena kemiskinan tersembunyi, di mana individu yang secara resmi tidak dianggap miskin menurut standar nasional, namun masih hidup dalam kondisi rentan. Mereka mungkin tidak memiliki akses yang memadai terhadap layanan kesehatan, pendidikan, atau pekerjaan yang layak.
Menurut laporan Kompas, kelompok ini disebut sebagai “aspiring middle class” dan jumlahnya mencapai sekitar 115 juta orang atau 45% dari total populasi Indonesia pada tahun 2020
Perbedaan Standar Kemiskinan: Manipulasi Angka dalam Sistem Kapitalisme
Dalam sistem ekonomi global yang didominasi oleh kapitalisme, penentuan standar kemiskinan tidak hanya menjadi alat ukur kesejahteraan, tetapi juga instrumen politik dan ekonomi.
Salah satu konsekuensi nyata dari sistem ini adalah munculnya standar kemiskinan yang sangat rendah, yang tidak mencerminkan kondisi riil masyarakat.
Melalui angka statistik yang “dijinakkan”, negara dapat mengklaim keberhasilan dalam mengurangi kemiskinan, padahal di lapangan, jutaan rakyat masih berjuang dalam kemiskinan struktural.
Kapitalisme dan Standar Kemiskinan yang Rendah
Kapitalisme memandang kemiskinan bukan sebagai masalah moral atau keadilan sosial, melainkan sebagai angka dalam neraca ekonomi. Maka, standar kemiskinan pun ditentukan dengan pendekatan minimalis, seperti yang terlihat pada metode Cost of Basic Needs (CBN) yang digunakan BPS.
Dengan hanya menghitung pengeluaran minimum untuk kebutuhan dasar, standar ini justru menyembunyikan mereka yang hidup di ambang kemiskinan, namun tidak masuk dalam kategori “miskin”.
Dalam konteks ini, standar kemiskinan yang rendah menjadi alat legitimasi. Negara bisa menyatakan bahwa angka kemiskinan turun, bukan karena rakyat lebih sejahtera, tetapi karena garis kemiskinan ditetapkan sedemikian rendah hingga jutaan rakyat miskin tidak lagi “terlihat” dalam data. Ini bukan keberhasilan, melainkan manipulasi sistematis dalam rangka menjaga citra ekonomi nasional.
Tujuan Kapitalistik: Menarik Investasi, Bukan Menyejahterakan
Dengan statistik kemiskinan yang tampak membaik, negara dapat menunjukkan stabilitas dan kemajuan ekonomi kepada investor asing. Inilah ciri khas kapitalisme – keberhasilan ekonomi diukur dari seberapa menarik sebuah negara bagi pemilik modal, bukan dari kesejahteraan rakyat jelata. Maka, tidak mengherankan jika pengentasan kemiskinan seringkali hanya menjadi narasi, bukan realitas.
Bank Dunia sendiri menggunakan standar yang lebih tinggi, yaitu US$6,85 PPP per hari untuk negara menengah seperti Indonesia. Bila standar ini yang digunakan, maka lebih dari 60% penduduk Indonesia masih tergolong miskin. Artinya, klaim penurunan angka kemiskinan versi nasional tidak lebih dari ilusi kesejahteraan.
Kegagalan Sistemik Kapitalisme
Di tengah kegagalan sistem kapitalisme dalam menyejahterakan rakyat, Islam hadir dengan sistem ekonomi yang adil, manusiawi, dan solutif. Islam tidak menyerahkan nasib rakyat miskin kepada mekanisme pasar atau belas kasihan korporasi, melainkan menetapkan negara sebagai pihak yang bertanggung jawab penuh atas pemenuhan kebutuhan pokok setiap individu.
Rasulullah ﷺ bersabda: ”Imam adalah pemelihara dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Sabda ini menegaskan bahwa pemimpin dalam sistem Islam bukanlah manajer anggaran atau pengelola pajak untuk kepentingan elite, melainkan pelindung dan penanggung jawab atas seluruh urusan umat — terutama yang paling rentan: fakir, miskin, dan dhuafa.
Dalam ekonomi Islam, tujuan utama negara adalah menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok setiap individu meliputi sandang, pangan, papan, pendidikan, dan kesehatan. Islam tidak mengukur kemiskinan berdasarkan angka statistik, melainkan pada realitas apakah setiap warga negara telah memiliki makanan yang layak, tempat tinggal yang memadai, dan akses terhadap layanan publik.
Negara dalam klnsep Islam memiliki kewenangan sebagai berikut:
– Mengelola sumber daya alam sebagai milik umum (milik umat), bukan diswastakan.
– Menghimpun zakat, kharaj, jizyah, dan sumber pemasukan syar’i lain sebagai dana sosial untuk mendukung kesejahteraan umat.
– Mendistribusikan kekayaan secara adil, mencegah penumpukan harta hanya di tangan segelintir orang (QS. Al-Hasyr: 7).
– Menjamin lapangan kerja dan membuka akses usaha produktif bagi setiap individu, sehingga setiap orang mampu memenuhi kebutuhannya secara layak.
Berbeda dengan Kapitalisme
Sistem kapitalisme memposisikan negara sebagai fasilitator ekonomi dan pembuka jalan bagi investor. Nasib rakyat ditentukan oleh kekuatan pasar dan regulasi yang bias terhadap korporasi. Akibatnya, kemiskinan menjadi masalah kronis yang tidak pernah tuntas — bahkan disamarkan dengan angka-angka statistik manipulatif. Wallahu a’lam bisshawab.[]