Penulis: Nisrina Nitisastro, S.H., | Konsultan hukum
ETNIKOM.NET, JAKARTA — Bayangkan seorang anak duduk termangu di emperan warung sambil menatap gerbang sekolah dari kejauhan. Sebut saja namanya Rafi. Usianya baru 13 tahun, namun ia sudah berhenti sekolah karena orang tuanya tak sanggup membayar seragam dan iuran tahunan.
Rafi bukan satu-satunya. Di Indonesia, menurut KPAI, ada sekitar 4 juta anak yang bernasib serupa. Mereka tersebar di provinsi seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Banten, hingga Sulawesi Selatan.
Apa yang terjadi sebenarnya?
Kemiskinan yang Memutus Akses
Sebagian besar anak putus sekolah karena alasan ekonomi. Sebuah survei menyebutkan bahwa 76% keluarga mengaku tidak mampu membiayai pendidikan anaknya. Biaya pendidikan formal memang mahal: uang pangkal terus naik, ditambah biaya seragam, buku, dan transportasi.
Di sisi lain, banyak anak yang terpaksa bekerja demi membantu ekonomi keluarga. Maka, sekolah pun jadi barang mewah.
Mirisnya, kemiskinan yang memaksa anak meninggalkan bangku sekolah justru memperpanjang siklus kemiskinan itu sendiri. Tanpa pendidikan yang layak, mereka sulit mendapatkan pekerjaan yang baik. Akhirnya, peluang keluar dari kemiskinan makin kecil. Sebuah lingkaran setan yang seolah tak berujung.
Negara: Hadir Tapi Tak Cukup
Memang, negara telah mencanangkan berbagai program seperti BOS, PIP, dan PKH. Tapi faktanya, banyak yang masih tercecer. Ada yang tak tersentuh bantuan karena tak terdata, ada pula yang tak mendapat tempat di sekolah negeri karena kuota penuh. Di banyak daerah, anak-anak harus berjalan berkilo-kilometer atau menyebrangi sungai hanya untuk mengejar mimpi.
Sayangnya, negara masih memosisikan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak dasar. Padahal, saat anak-anak Indonesia putus sekolah, derasnya arus informasi asing—dari konten-konten dangkal hingga ideologi destruktif—masuk tanpa filter.
Anak-anak yang tanpa bekal pendidikan mudah sekali terseret arus ini, menjadi sasaran empuk manipulasi, eksploitasi, bahkan radikalisasi budaya asing yang menggerus identitas.
Jika ini terus dibiarkan, artinya kita sedang membuat bom waktu sosial: generasi tanpa arah, miskin ilmu, miskin akhlak, dan kehilangan jati diri.
Islam dan Tanggung Jawab Negara
Dalam Islam, pendidikan sangat berpengaruh dengan kapasitas seseorang sehingga semua pihak- orang tua dan negara memiliki tanggung jawab. Allah SWT berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman dan berilmu di antara kamu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah SAW juga bersabda:
“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam Islam, negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyatnya. Dana zakat, fai’, ghanimah, dan kharaj digunakan untuk menjamin seluruh kebutuhan rakyat, termasuk pendidikan. Wakaf menjadi pilar pendukung yang kokoh bagi lembaga-lembaga pendidikan.
Negara bukan sekadar fasilitator, tapi pelayan dan penanggung jawab utama. Pendidikan bukan jalan menuju gelar, tapi sarana membentuk manusia beriman, berilmu, dan berkontribusi.
Menuju Solusi yang Beradab
Angka putus sekolah tak bisa ditangani sebatas bantuan sementara. Kita butuh sistem yang menempatkan manusia sebagai prioritas, bukan pasar. Kita butuh negara yang hadir, bukan sekadar muncul di lembar statistik. Kita butuh nilai yang membangun, bukan sekadar mengejar capaian angka.
Islam telah menawarkan solusi. Bukan utopia, tapi sistem yang pernah berdiri kokoh dan melahirkan generasi ulung. Kita hanya perlu jujur melihat, bahwa sistem hari ini sudah terlalu lama gagal memenuhi janji—dan saatnya menoleh pada Islam sebagai jalan keluar.
Jika engkau tanya Rafi, mungkin ia tak tahu dalil, tapi ia tahu rasanya ditinggalkan oleh negara. Barangkali, itu yang perlu kita ingat hari ini.[]