ETNIKOM.NET, CIREBON — Pemasangan plang di area sengketa tanah yang melibatkan ahli waris almarhum Dadi Bahrudin dan pihak ketiga, Teuku Muhammad Hidayat, menuai tanggapan dari masing-masing kuasa hukum. Kedua pihak menyatakan sikap dan dasar hukum yang berbeda terkait status kepemilikan serta proses hukum yang tengah berjalan.Rabu,(22/10/25).
Kuasa hukum Teuku Muhammad Hidayat, Arif Rahman, menegaskan langkah hukum terkait objek sengketa tersebut belum memiliki keputusan eksekusi dari Pengadilan Negeri Cirebon.
Menurutnya, sebelum plang dipasang, pihaknya telah menanyakan kepada Ketua Pengadilan Negeri Cirebon mengenai status eksekusi perkara nomor 197 R, dan dijawab bahwa belum ada surat perintah eksekusi.
“Karena itu kami menolak tegas tindakan pemasangan plang oleh kuasa hukum almarhum Dadi Bahrudin. Upaya hukum ini belum selesai,” ujar Arif Rahman.
Ia menambahkan, keberatan pihaknya bukan semata pada pemasangan plang, melainkan pada isi tulisan yang bernada ancaman pidana bagi siapa pun yang masuk tanpa izin. Menurutnya, hal itu menimbulkan ketidaknyamanan bagi pedagang dan pengunjung di area tersebut.
“Dalam negosiasi akhirnya disepakati plang boleh dipasang tanpa tulisan bernada ancaman. Kami juga meminta plang lama dicabut,” katanya.
Arif menjelaskan, baik kliennya maupun pihak almarhum Dadi Bahrudin sama-sama memiliki dasar hukum berupa Surat Pelepasan Hak (SPH) dari Keraton Kasepuhan, bukan sertifikat tanah.
“Permasalahan muncul karena klien kami tidak dilibatkan dalam gugatan awal. Atas dasar itu, kami mengajukan perlawanan pihak ketiga (Derden Verzet), dan prosesnya masih berjalan di pengadilan,” ungkapnya.
Saat ini, kata Arif, lahan tersebut masih dikuasai oleh kliennya. Namun ia menegaskan bahwa belum ada legalitas mutlak dari pihak mana pun, sehingga tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikan penuh sebelum proses hukum selesai.
Sementara itu, Dr. H. Teguh Santosa, S.H., M.Si., kuasa hukum ahli waris almarhum Dadi Bahrudin, menegaskan perkara ini telah dimenangkan kliennya sejak tahun 2018 dan telah inkracht di seluruh tingkatan peradilan, mulai dari Pengadilan Negeri, Banding, Kasasi, hingga Peninjauan Kembali (PK).
“Semua putusan menyatakan kami menang. Bahkan perlawanan dari PD Pembangunan sudah ditolak melalui putusan tanggal 30 Juli lalu,” jelas Teguh.
Ia mengakui pihaknya menunda eksekusi untuk menjaga kondisi sosial dan menghindari kerugian pihak ketiga, terutama pedagang yang masih beraktivitas di lokasi. Namun, eksekusi faktual akan segera dilakukan sesuai jadwal pengadilan.
Teguh juga menanggapi klaim kepemilikan SPH dari pihak lain.
“Silakan saja, tapi kami punya alat bukti yang lengkap. Antara lain surat tanda pendaftaran tentara Indonesia, bukti pembayaran PBB, SPH dari Sultan, foto lokasi, dan bukti bahwa tanah ini tidak pernah diperjualbelikan,” ujarnya.
Menurutnya, pemasangan plang dilakukan bukan untuk mengusir siapa pun, melainkan untuk mencegah terjadinya transaksi ilegal atas tanah sengketa menjelang eksekusi.
“Tulisan di plang itu bukan ancaman, tetapi peringatan hukum agar tidak terjadi pelanggaran. Kami juga tidak ingin menimbulkan keresahan, hanya ingin menjaga hak hukum klien kami,” tegas Teguh.
Kedua kuasa hukum sepakat kondisi di lapangan harus tetap kondusif sambil menunggu keputusan resmi dari pengadilan.
Pihak Arif Rahman menegaskan masih ada proses hukum yang berjalan, sementara pihak Teguh Santosa memastikan putusan hukum sudah final dan tinggal menunggu pelaksanaan eksekusi.









