Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS. | Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah
ETNIKOM.NET, JAKARTA – Bayangkan sebuah dunia di mana ikatan darah yang seharusnya suci, justru ternoda oleh gelapnya nafsu yang tak terbendung. Di balik layar sebuah ruang maya bernama “Fantasi Sedarah,” sebuah grup Facebook yang baru-baru ini menggemparkan hati nurani bangsa.
Bukan karena kebaruan teknologinya, tetapi karena kekejian kontennya. Di sana, fantasi-fantasi hubungan inses yang menjijikkan dan menyimpang dipertontonkan, merobek kehormatan dan kemuliaan fitrah kemanusiaan yang paling dasar.
Suara hati Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) pun menggema, mendesak aparat kepolisian untuk mengusut tuntas kebusukan ini, karena selain mengandung unsur eksploitasi seksual, ia menciptakan luka mendalam yang meresahkan jiwa masyarakat. (Republika.co.id, 17/5/2025)
Direktur Jenderal Pemantauan Ruang Digital Kementerian, Alexander Sabar, menyampaikan bahwa langkah pemblokiran grup Facebook seperti “Fantasi Sedarah” adalah upaya nyata untuk melindungi anak-anak dari konten yang dapat merusak mental dan emosional mereka.
Ia menegaskan bahwa kelompok-kelompok yang mempromosikan pornografi incest adalah pelanggaran berat terhadap hak anak dan norma masyarakat. Kemen PPPA juga mengajak seluruh elemen masyarakat aktif melaporkan konten negatif demi terciptanya ruang digital yang aman dan sehat. (BisnisUpdate.com, 16/5/2025)
Ini bukan sekadar kabar duka, tapi panggilan hati yang tak boleh kita abaikan. Saat syariat mulai dijauhkan dari kehidupan keluarga, perlindungan pun ikut menghilang. Dalam kekosongan itu, jeratan nafsu perlahan masuk dan menguasai hati yang kehilangan arah.
Keluarga yang seharusnya jadi tempat penuh cinta dan ketenangan, berubah menjadi tempat yang rapuh dan penuh luka. Tanpa syariat yang membimbing, manusia mudah tersesat, dan ikatan suci pun hancur oleh nafsu yang tak terkendali.
Namun, pertanyaan besarnya adalah, bagaimana semua ini bisa terjadi? Mengapa di negeri yang mengaku menjunjung tinggi nilai-nilai agama, justru muncul perilaku menyimpang yang bahkan tak pantas disebut sebagai “manusiawi”?
Jawabannya terletak pada sistem yang tengah kita jalani hari ini. Sebuah sistem kehidupan yang mencampakkan nilai-nilai agama dari ruang publik. Sistem sekuler kapitalistik inilah akar dari kerusakan demi kerusakan yang terus bermunculan.
Di dalamnya, agama dipaksa menjadi urusan privat, tidak boleh mencampuri kebijakan, pendidikan, ekonomi, apalagi kehidupan sosial. Maka tak heran jika orientasi hidup masyarakat berubah. Dari menjaga kehormatan menjadi mengejar kepuasan pribadi, dari rasa malu menjadi kebebalan yang dibanggakan.
Kapitalisme telah memberi jalan lapang bagi liberalisme untuk menjajah pola pikir manusia. Atas nama “kebebasan berekspresi,” kita saksikan pornografi tersebar bebas, konten menyimpang disiarkan, dan nilai-nilai rusak dijadikan normal baru.
Ketika negara membiarkan media tanpa sensor moral, dan keluarga kehilangan peran karena tekanan ekonomi, maka lahirlah generasi yang tumbuh tanpa arah, tanpa pegangan, tanpa rasa takut kepada Tuhan.
Keluarga yang dulu hangat dan penuh kasih kini mulai rapuh. Orang tua sibuk bekerja, sementara anak-anak lebih banyak menghabiskan waktu dengan gadget dan media sosial. Suara tawa dan obrolan hangat di meja makan berubah jadi keheningan yang terasa sepi. Rasa malu dan sopan santun perlahan hilang diganti budaya bebas tanpa batas atas nama kebebasan.
Inilah bukti nyata bahwa sistem sekuler kapitalistik gagal menjaga kehormatan manusia. Negara sering kali hanya bereaksi setelah kerusakan terjadi, bukan mencegah sebelum luka itu terbuka. Bahkan dalam beberapa kasus, kebijakan negara justru ikut menyuburkan kebebasan yang menjerumuskan.
Islam melihat kehidupan secara berbeda. Islam bukan sekadar agama ritual tapi panduan lengkap yang mengatur keluarga masyarakat dan negara. Dalam Islam, hubungan sedarah (inses) adalah kejahatan besar yang mengundang murka Allah. Bukan hanya pelaku yang berdosa, tapi juga masyarakat yang membiarkannya.
Negara dalam sistem Islam tidak bersikap netral terhadap penyimpangan. Ia wajib menjaga masyarakat dari fitnah dan keburukan, menutup semua pintu yang mengarah pada kerusakan. Sistem pendidikan Islam membentuk keimanan sejak dini. Media dikawal agar tidak menjadi alat penyebar syahwat. Amar makruf nahi munkar menjadi budaya sosial, bukan hanya tugas segelintir orang.
Tak hanya itu, sistem sanksi dalam Islam bukan sekadar menghukum, tapi juga menebus, membersihkan, dan mencegah. Pelaku kejahatan tidak dibiarkan berkeliaran, dan masyarakat tidak dididik untuk mentoleransi penyimpangan atas nama empati yang salah tempat. Negara hadir bukan untuk mengatur ruang kosong, tapi membimbing setiap langkah masyarakat agar tetap berada di jalan yang benar.
Bayangkan jika sistem ini benar-benar diterapkan. Tidak akan ada konten menyimpang yang tersebar bebas. Tidak akan ada anak yang tumbuh tanpa bimbingan iman. Tidak akan ada keluarga yang tercerai karena tekanan hidup atau runtuh karena arus kebebasan.
Karena dalam sistem Islam, setiap individu disiapkan untuk menjadi hamba Allah yang bermartabat, bukan budak nafsu yang hidup tanpa arah.
Fenomena “Fantasi Sedarah” bukanlah sekadar kasus kriminal. Ia adalah alarm keras bahwa sistem kehidupan kita sedang sakit parah. Ini bukan hanya soal penegakan hukum, tapi tentang arah kehidupan kita sebagai umat dan bangsa. Apakah kita akan terus bertahan dalam sistem rusak yang menormalisasi kebejatan, atau mulai berpikir untuk kembali kepada aturan Sang Pencipta yang Maha Mengetahui fitrah manusia?
Sudah saatnya kita jujur bahwa sistem ini telah gagal. Saatnya kita kembali kepada Islam yang bukan hanya sebagai agama pribadi, tapi sebagai jalan hidup yang menyelamatkan keluarga, menjaga masyarakat, dan memuliakan manusia.
Wallahu a’lam bish shawab.[]