“Kamilah PWI yang Sah, Lainnya Ilegal”

- Redaksi

Rabu, 7 Mei 2025 - 13:08 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

 

Penulis: Ifanko Putra, S.H | Ketua PJMI Kepri

 

ETNIKOM.NET, JAKARTA  — Kisruh internal Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) belum juga menunjukkan tanda-tanda akan reda. Api yang mulanya hanya bara di balik sekat-sekat organisasi, kini menjalar terbuka, menyambar ke segala arah.

Perselisihan elit di tingkat pusat menjelma menjadi drama panjang yang melelahkan, merusak solidaritas, dan secara tidak langsung telah mempermalukan nama organisasi wartawan tertua di negeri ini.

Saya tak akan mengurai duduk perkara perpecahan ini. Riwayatnya telah beredar luas dari berbagai versi. Namun, yang memprihatinkan adalah yang terlibat dalam kekisruhan ini, para wartawan senior yang selama ini dikenal sebagai panutan bagi wartawan muda, dihormati dan disegani kalangan relasi baik pemerintah maupun swasta.

Mereka saling menuding, mengklaim, mencaci, dan menjadikan ruang publik sebagai medan tempur ego. Karir dan reputasi yang telah dibangun puluhan tahun, dihancurkan oleh rekan sejawat lewat narasi menyerang pribadi di media.

Saat memberitakan hal negatif orang lain atau pihak lain verifikasi kita berlapis, tapi memberitakan rekan sejawat malah lebih banyak opini daripada fakta, tanpa konfirmasi pula. Kadangkala, keangkuhan dapat mengalahkan kebijaksanaan.

Tak ada upaya sungguh-sungguh untuk mencari titik temu. Masing-masing kubu bersikukuh mengusung versi kebenarannya sendiri.

“Kamilah PWI yang sah, lainnya ilegal” demikian yang kerap terdengar di ruang publik. Organisasi yang seharusnya menjadi rumah besar wartawan yang reputasinya terentang panjang sejak tahun 1946 – hampir sama umurnya dengan kemerdekaan Indonesia, kini berubah menjadi ajang rebutan stempel, dualisme kepemimpinan, dan konferensi yang keabsahannya saling dipertanyakan.

Baca Juga :  Empat Makna Penting Ibadah Haji

Semua berbicara seolah penyelamat, padahal yang tampak hanya pertarungan gengsi dan ambisi. Hal yang paling amat disayangkan, percikan konflik menjalar hingga ke daerah. PWI tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang semestinya menjadi rumah besar jurnalis lokal, ikut terbelah.

Faksi-faksi tumbuh liar, menciptakan keretakan bahkan di antara sahabat lama. Persahabatan yang bahkan ada yang diantaranya yang terjalin belasan, puluhan tahun, runtuh hanya karena loyalitas pada kubu. Lalu ke mana larinya nilai-nilai solidaritas yang dahulu dijunjung tinggi?

Perang narasi tak terelakkan. Grup-grup WhatsApp yang semula hangat berubah menjadi ladang cercaan. Media-media yang berafiliasi pada masing-masing kubu tak segan menayangkan serangan terbuka. Fitnah, rekayasa, ancaman hingga saling menjegal jadi lumrah. Ironisnya, persaudaraan, persahabatan, menjadi korban oleh kebanggaan semu.

Padahal, tengoklah kondisi kita saat ini secara umum, dunia pers tengah menghadapi tantangan besar disrupsi. Media-media raksasa runtuh perlahan satu per satu. Pemutusan hubungan kerja melanda. Jurnalis kehilangan pekerjaan, kehilangan kepercayaan, bahkan kehilangan makna. Di tengah krisis yang menggerus dari segala sisi. Upah minim, tekanan media sosial, buzzer, hilangnya pembaca dan lainnya.

Baca Juga :  Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 

Saatnya semua pihak menundukkan kepala. Mengambil jeda. Bertanya jujur pada diri sendiri: apa sebenarnya yang sedang diperjuangkan? Jabatan? Pengaruh? Atau warisan nilai bagi generasi mendatang?

“Kita tidak bisa mengendalikan apa yang terjadi di luar diri kita. Tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya,” demikian kata filsuf Stoik, Epictetus.

Kini, pilihan yang tersedia bukan lagi menambah bara, jangan menjadi batu api. Duduk bersama, membuka ruang maaf, dan menyusun ulang yang berserak.

Tak ada gunanya memaksakan kemenangan dalam konflik yang hanya menyisakan puing-puing kepercayaan. Justru di tengah krisis seperti ini, organisasi wartawan harus berdiri tegak, merapatkan barisan. Bila para senior tak mampu menjadi teladan, jangan salahkan jika jurnalis muda memilih menjauh bukan karena apatis, tapi karena muak.

Hari ini kita tak butuh pemenang. Kita butuh pemimpin. Mereka yang sanggup melihat melampaui legalitas. Mereka yang bersedia mengalah demi menyelamatkan marwah organisasi.

Tidak ada yang benar-benar tenang hatinya, bila hidup dalam konflik. Tuhan juga amat membenci orang yang bermusuhan, dan mengajak untuk saling mendamaikan.

Dalam Surah Al Hujarat ayat 10, Allah berfirman: “Sebenarnya orang-orang yang beriman adalah mereka yang bersaudara maka damaikanlah di antara kedua saudara kamu (yang bertikai) dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu memperoleh rahmat.”[]

Berita Terkait

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia
Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 
Fatherhood in Islam
Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani
Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel
Islam, Public Engagement and New York City Election 
Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial
Negara Prioritas yang Akan Dikunjungi Walikota New York Terpilih
Berita ini 12 kali dibaca
Tag :

Berita Terkait

Selasa, 17 Juni 2025 - 18:46 WIB

Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 

Selasa, 17 Juni 2025 - 11:04 WIB

Fatherhood in Islam

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

Senin, 16 Juni 2025 - 16:23 WIB

Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel

Senin, 16 Juni 2025 - 10:21 WIB

Islam, Public Engagement and New York City Election 

Berita Terbaru

Daerah

Jelang Munas 2026: DPP SWI Gelar Rapat Pleno Pengurus

Rabu, 18 Jun 2025 - 03:48 WIB