Penulis: Agnes Floramenia Sarumaha | Magister Kenotariatan, Universitas Gadjah Mada
ETNIKOM.NET, JAKARTA — Berdasarkan pasal 1792 KUHPerdata, pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Kemudian dalam pasal 1795 KUHPerdata diketahui terdapat dua jenis pemberian kuasa yaitu: Pertama, pemberian kuasa khusus yaitu pemberian kuasa yang dimaksudkan hanya untuk melakukan atau menyelenggarakan satu atau dua kepentingan atau urusan yang dinyatakan dengan tegas. Kedua, pemberian kuasa umum yaitu pemberian kuasa yang dimaksudkan untuk melakukan atau menyelenggarakan semua kepentingan atau urusan dari pemberi kuasa.
Kuasa mutlak adalah bentuk surat kuasa yang memberikan kekuasaan absolut kepada penerima kuasa dan tidak dapat dicabut. Dengan demikian, istilah ”Pemberian Kuasa Mutlak” pada dasarnya tidak diatur secara jelas dalam KUHPerdata. Namun apabila merujuk pada asas kebebasan berkontrak pada pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang sah mengikat para pihak seperti undang-undang.
Ini berarti setiap orang memiliki kebebasan untuk membuat perjanjian dengan isi, bentuk, dan dengan siapa mereka mau berkontrak, selama tidak melanggar hukum, kesusilaan, dan ketertiban umum. Para pihak terbuka untuk melakukan perjanjian pemberian kuasa mutlak dengan memenuhi syarat sahnya perjanjian.
Maka dapat disimpulkan bahwa meskipun tidak disebutkan di dalam KUHPerdata, namun pemberian kuasa mutlak tetap diperbolehkan untuk dilakukan selama memenuhi syarat sahnya perjanjian baik syarat subjektif maupun objektif.
Apabila objek perjanjian itu berupa tanah atau hak atas tanah, maka perjanjian pemberian kuasa mutlak dibedakan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu:
Perjanjian pemberian kuasa mutlak yang diperbolehkan
1. Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak berobjekkan tanah yang diperbolehkan mengandung ciri, yaitu untuk melakukan perbuatan tertentu dalam waktu tertentu yang tegas dinyatakan serta tidak dapat ditarik kembali sampai perbuatan tersebut dilaksanakan. Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak yang diperbolehkan tersebut, yaitu:
– Penggunaan Surat Kuasa Mutlak sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 Blanko Akta Jual Beli, yang bentuknya diatur dalam Peraturan Menteri Agraria No. 11 Tahun 1961, sebelumnya digunakan dalam proses peralihan hak atas tanah.
Dalam ketentuan tersebut disebutkan bahwa apabila peralihan hak tidak memperoleh Izin Peralihan dari pejabat yang berwenang, maka pihak penerima hak (pembeli) diberikan kuasa penuh untuk melakukan pengalihan hak atas tanah tersebut dalam jangka waktu paling lambat satu tahun sejak diterbitkannya surat penolakan izin, dan pengalihan tersebut dapat dilakukan kepada pihak lain yang memenuhi syarat.
Kuasa yang diberikan bersifat tidak dapat dicabut, dan seluruh hasil penjualan menjadi milik pembeli secara penuh tanpa kewajiban mempertanggung-jawabkannya kepada pemilik awal.
Namun, praktik penggunaan Kuasa Mutlak yang berkaitan dengan penolakan Izin Peralihan tersebut kini sudah tidak lagi diterapkan, seiring dengan diberlakukannya Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 8 Tahun 2012, yang mewajibkan Izin Peralihan diperoleh sebelum pembuatan dan penandatanganan Akta Peralihan Hak oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Selain itu, dalam format blanko akta peralihan hak yang terbaru, ketentuan mengenai kuasa tersebut juga sudah dihapuskan.
– Pemberian Kuasa Mutlak yang dicantumkan dalam Perjanjian Perikatan Jual Beli yang dibuat oleh notaris umumnya dimaksudkan agar penerima kuasa, dalam jangka waktu tertentu, dapat mewakili pemilik tanah untuk menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) dan menandatangani Akta Jual Beli, setelah seluruh harga tanah dibayarkan dan persyaratan lain yang telah disepakati bersama telah terpenuhi.
Kuasa tersebut bersifat tidak dapat dicabut hingga pelaksanaan dan penandatanganan Akta Jual Beli benar-benar dilakukan di hadapan PPAT dalam batas waktu yang telah disepakati oleh para pihak.
– Penggunaan Kuasa Mutlak dalam konteks pemberian kuasa untuk pemasangan Hak Tanggungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996, bertujuan agar penerima kuasa dapat mewakili pemberi kuasa dalam proses pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan.
Kuasa ini bersifat tidak dapat dicabut hingga Akta Pemberian Hak Tanggungan ditandatangani secara resmi di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).
Perjanjian pemberian kuasa mutlak yang dilarang
– Mengandung perbuatan penyelundupan hukum karena bentuk perbuatan hukumnya berupa pemberian kuasa mutlak, namun hakikatnya dimaksudkan untuk mengalihkan atau memindahtangankan hak atas tanahnya kepada penerima kuasa
– Mengandung pemberian dan penyerahan kewenangan yang dipunyai oleh pemegang hak sebagai pemberi kuasa kepada penerima kuasa berupa kewenangan untuk menguasai dan menggunakan tanahnya serta melakukan segala perbuatan hukum yang menurut hukum hanya dapat dilakukan oleh pemegang hak atas tanah.
Peralihan hak atas tanah merupakan perpindahan hak atas tanah dari pemegang hak yang lama kepada pemegang hak yang baru secara sah berdasarkan peraturan perundang-undangan. Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) beserta peraturan pelaksananya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 dan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997, secara jelas mengatur bentuk serta prosedur peralihan hak atas tanah.
Dalam Pasal 2 ayat (2) huruf c UUPA ditegaskan bahwa kewenangan penuh untuk mengatur hubungan hukum antara individu maupun perbuatan hukum yang menyangkut tanah berada di tangan negara.
Oleh karena itu, para pihak yang terlibat dalam hubungan hukum mengenai tanah tidak memiliki hak untuk membentuk atau menentukan sendiri bentuk hubungan atau perbuatan hukum yang melibatkan tanah sebagai objeknya.
Negara telah menetapkan bentuk-bentuk sah dari hubungan atau perbuatan hukum terkait tanah, antara lain perjanjian jual beli (termasuk lelang), perjanjian tukar-menukar, hibah, serta penyertaan tanah sebagai modal (inbreng) dalam suatu badan usaha.
Artinya, peralihan hak atas tanah hanya dapat dilakukan melalui bentuk-bentuk hubungan hukum tersebut sesuai dengan prosedur yang telah ditentukan. Dengan demikian, penggunaan bentuk hubungan hukum lain yang tidak diatur oleh negara termasuk Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak yang dimaksudkan untuk mengalihkan hak atas tanah tidak diperbolehkan dan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam praktik jual beli tanah di Indonesia, penggunaan surat kuasa mutlak masih sering ditemui sebagai alat peralihan hak. Namun demikian, pengadilan telah berkali-kali menyatakan bahwa pemanfaatan surat kuasa mutlak dalam transaksi tersebut tidak sah secara hukum.
Putusan-putusan tersebut mengacu pada Instruksi Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1982, yang secara tegas melarang penggunaan kuasa mutlak sebagai dasar untuk memindahkan hak atas tanah. Instruksi ini juga memuat ketentuan penting, salah satunya adalah larangan bagi para pejabat yang berwenang di bidang agraria untuk memproses atau menyelesaikan status hak atas tanah apabila dokumen pembuktiannya hanya berupa surat kuasa mutlak. Akibat Hukum Penggunaan Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak Sebagai Cara Peralihan Hak.
Instruksi Mendagri No. 14 Tahun 1982 muncul sebagai respons terhadap maraknya praktik penyalahgunaan kuasa mutlak, terutama dalam jual beli tanah yang tidak dilakukan melalui prosedur resmi.
Surat kuasa mutlak sering dijadikan “jalan pintas” untuk menghindari kewajiban hukum seperti pembayaran pajak atau pembuatan akta jual beli di hadapan PPAT, sehingga mengandung potensi besar terhadap sengketa hukum di masa depan. Surat ini juga memberi kekuasaan absolut kepada penerima kuasa tanpa mekanisme kontrol dari pemberi kuasa.
Selain melanggar prinsip legalitas dalam hukum agraria, penggunaan surat kuasa mutlak mengabaikan asas perlindungan hukum bagi pihak yang lebih lemah, yakni pemberi kuasa.
Oleh karena itu, pengadilan cenderung memutuskan bahwa kuasa mutlak, terutama yang mengandung unsur pemindahan hak milik, adalah batal demi hukum (null and void). Dalam konteks ini, kuasa mutlak tidak dapat dijadikan bukti yang sah untuk kepemilikan atau pengalihan hak atas tanah.
Jika Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak tetap digunakan sebagai cara terselubung untuk memindah-tangankan hak atas tanah meskipun sudah dilarang maka konsekuensi hukumnya, yaitu:
Pertama, Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak itu batal demi hukum karena perjanjiannya tidak memenuhi syarat objektif sahnya perjanjian yaitu Kausa yang halal. Artinya, perjanjian tersebut bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana telah dijelaskan di atas.
Kedua, hak atas tanah yang dipindahtangankan dengan menggunakan Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak secara yuridis tetap masih berada di tangan pihak pemberi kuasa mutlak karena tidak mungkin dilakukan balik nama kepemilikan hak atas tanah dari pemberi kuasa mutlak kepada penerima kuasa mutlak.
Sesuai dengan ketentuan bahwa, Kantor Pertanahan akan menolak melakukan Pendaftaran peralihan hak atas tanah atau balik nama kepemilikan karena peralihannya tidak dilakukan dengan Akta Jual Beli yang dibuat oleh dan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah.
Sebagai solusi, transaksi jual beli tanah wajib dilakukan secara formal melalui PPAT, dengan akta otentik, dan dilaporkan ke BPN agar dapat didaftarkan secara sah. Langkah ini memberi perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dan mencegah potensi konflik di kemudian hari.
Perlindungan hukum atas hak atas tanah harus mengedepankan prinsip kepastian hukum, keterbukaan, dan keadilan. Penggunaan Perjanjian Pemberian Kuasa Mutlak sebagai modus jual beli tanah jelas melanggar hukum dan harus ditanggulangi dengan pendekatan multi-level: regulatif, administratif, edukatif, dan mediatif.
Langkah formal melalui PPAT dan BPN bukan sekadar prosedur, tetapi bentuk jaminan atas hak kepemilikan yang sah dan tidak disengketakan di kemudian hari.[]