ETNIKOM .NET, JAKARTA – Bagi masyarakat Jawa, nama Bengawan Solo bukan sekadar sungai. Ia adalah legenda hidup yang mengalir melewati zaman—dari kisah masa lampau hingga menjadi ikon budaya yang abadi. Airnya pernah menjadi saksi lahirnya peradaban, sumber penghidupan, dan inspirasi bagi karya seni yang mendunia.
Sungai Bengawan Solo dikenal sebagai sungai terpanjang di Pulau Jawa, mengalir sejauh lebih dari 600 kilometer dari Pegunungan Sewu di Wonogiri, Jawa Tengah, menuju Laut Jawa di Gresik, Jawa Timur.
Dalam catatan sejarah kuno, sungai ini menjadi jalur transportasi utama kerajaan-kerajaan besar seperti Mataram Kuno dan Majapahit. Kapal-kapal dagang mengarungi aliran sungai membawa hasil bumi dari pedalaman menuju pelabuhan di pesisir utara Jawa.
Bagi masyarakat Jawa, Bengawan Solo juga menyimpan makna filosofis. Air yang mengalir dari selatan ke utara melambangkan perjalanan hidup manusia—dari hulu (lahir) hingga muara (kematian), dari tanah tinggi menuju laut lepas, seakan mengajarkan bahwa setiap perjalanan hidup pasti bermuara pada Sang Pencipta.
Selama berabad-abad, Bengawan Solo menjadi urat nadi ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Pertanian, perikanan, dan industri kecil tumbuh di sepanjang alirannya. Di daerah Sragen, Bojonegoro, dan Lamongan, masyarakat memanfaatkan air sungai untuk mengairi sawah dan tambak.
Namun, berkah itu datang bersama ujian. Bengawan Solo juga dikenal karena sering meluap saat musim hujan. Banjir besar pernah tercatat melanda pada tahun 1966, 2007, dan beberapa tahun terakhir yang merendam ribuan rumah penduduk di Bojonegoro dan Ngawi. Pemerintah telah berupaya menanggulangi dengan pembangunan Bendungan Wonogiri dan normalisasi aliran sungai, meski tantangan sedimentasi dan perubahan tata guna lahan masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Popularitas Bengawan Solo semakin mengalir deras ketika komponis besar Gesang Martohartono menciptakan lagu legendaris “Bengawan Solo” pada tahun 1940-an. Lagu ini tidak hanya terkenal di Indonesia, tapi juga mendunia. Bahkan di Jepang, “Bengawan Solo” pernah dinyanyikan dalam berbagai versi dan menjadi simbol persahabatan Indonesia–Jepang.
Lagu tersebut menggambarkan keindahan dan ketenangan sungai, serta kerinduan yang mendalam terhadap kampung halaman. “Bengawan Solo, riwayatmu ini, sedari dulu jadi perhatian insani,” begitu sepenggal liriknya yang menyentuh hati jutaan orang dari berbagai generasi.
Kini, Bengawan Solo menghadapi tantangan modern: pencemaran limbah industri dan rumah tangga, penebangan liar, serta kerusakan daerah aliran sungai (DAS). Pemerintah melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Bengawan Solo berupaya melakukan konservasi dengan program Gerakan Kali Bersih, reboisasi di hulu, serta pembangunan embung dan tanggul pengendali banjir.

Selain itu, berbagai komunitas lingkungan dan pegiat budaya juga turun tangan. Di Surakarta, misalnya, gerakan “Bersih Bengawan” secara rutin melakukan kegiatan susur sungai dan kampanye pelestarian. “Bengawan Solo bukan hanya warisan alam, tapi juga warisan budaya yang harus kita jaga,” ujar Sutarno, salah satu penggerak komunitas tersebut.
Bengawan Solo tidak sekadar sungai yang mengalir di antara dua provinsi. Ia adalah urat nadi sejarah, simbol keteguhan, dan cermin kehidupan masyarakat Jawa. Dari kejayaan masa lalu hingga tantangan modern, sungai ini tetap setia mengalir, mengajarkan bahwa kehidupan akan terus berjalan selama air masih mengalir di bumi pertiwi.[]
Sumber:
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Profil BBWS Bengawan Solo (2024).
Pemerintah Kota Surakarta, Sejarah dan Budaya Bengawan Solo (2023).
Kompas.com, “Bengawan Solo: Sungai yang Menghidupi Sekaligus Menguji”, 12 Februari 2024.
Gesang Martohartono, Riwayat Lagu Bengawan Solo, Museum Gesang Surakarta (2022).









