Penulis: Poppy Kamelia P. BA(Psych), CBPNLP, CCHS, CCLS, CTRS | Pelatih Parenting Islam, Konselor dan Terapis Kesehatan Mental, Penulis, Pegiat Dakwah
ETNIKOM-Di tengah harapan besar akan lahirnya generasi penerus bangsa yang cemerlang, kenyataan pahit justru menampar kita. Kasus kecurangan dalam Ujian Tulis Berbasis Komputer Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (UTBK SNBT) 2025 kembali membuka mata kita tentang betapa dalam kerusakan yang sedang melanda.
Modus kecurangan yang terjadi bukan lagi sekadar menyontek biasa, melainkan telah melibatkan teknologi canggih. Ada peserta yang menyelipkan kamera kecil di balik behel gigi, memanfaatkan alat komunikasi tersembunyi untuk mencuri soal ujian. (Kompas.com, 25/4/2025) Betapa jauh kita telah tersesat dari nilai kejujuran yang seharusnya menjadi fondasi pendidikan.
Dalam dua hari pelaksanaan UTBK SNBT 2025, tepatnya pada Rabu (23/4/2025) dan Kamis (24/4/2025), tercatat 14 kasus kecurangan yang ditemukan. Ketua umum penanggung jawab SNPMB, Prof. Eduart Wolok, menyampaikan bahwa dari 196.328 peserta yang hadir dalam empat sesi ujian, terdapat temuan kecurangan sebesar 0,0071 persen. (Beritasatu.com, 25/4/2025)
Mungkin di atas kertas angka ini terlihat kecil. Tapi bagi nurani yang hidup, satu saja tindakan curang cukup untuk menodai integritas keseluruhan sistem. Satu dusta cukup untuk mengoyak kepercayaan.
Satu kebohongan cukup untuk meruntuhkan masa depan sebuah bangsa. Lebih jauh, Prof. Eduart juga mengungkapkan bahwa para peserta menggunakan berbagai cara dan teknologi untuk mencuri soal UTBK. (Kompas.com, 25/4/2025)
Penelusuran masih terus berlangsung, dan panitia tidak menutup kemungkinan adanya keterlibatan pihak eksternal, baik dari dalam maupun luar peserta ujian. Ini menandakan bahwa kecurangan ini bukanlah perbuatan iseng semata, melainkan telah terorganisasi. Ada jaringan yang siap merusak kesucian proses pendidikan demi keuntungan sesaat. (Beritasatu.com, 25/4/2025)
Melihat fenomena ini, tak bisa kita hanya mengutuk perilaku individunya saja. Kita harus berani menelusuri akar penyakitnya. Mengapa generasi muda berani menempuh jalan kecurangan? Mengapa mereka tega mengkhianati ilmu yang seharusnya mereka muliakan? Jawabannya terletak pada sistem yang menaungi mereka, yaitu sistem pendidikan kapitalisme.
Kapitalisme adalah sistem hidup yang menanamkan bahwa ukuran keberhasilan adalah materi. Bahwa hidup yang sukses adalah hidup yang bergelimang harta, jabatan, dan pengakuan duniawi.
Dalam sistem ini, proses tidak lagi penting; yang penting adalah hasil. Nilai, ijazah, dan status sosial menjadi lebih berharga daripada kejujuran, kerja keras, dan ketulusan hati.
Dalam atmosfer seperti ini, wajar jika peserta didik tergoda untuk menghalalkan segala cara demi mendapatkan nilai tinggi. Mereka tidak lagi bertanya, “Apakah ini halal atau haram?” yang mereka pikirkan hanyalah, “Bagaimana aku bisa menang?”
Lebih menyedihkan lagi, hasil survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menunjukkan bahwa perilaku menyontek masih ditemukan di hampir seluruh kampus. (Detik.com, 25/4/2025)
Budaya curang ini tidak berhenti di bangku sekolah, melainkan berlanjut hingga ke dunia nyata, menumbuhkan generasi yang rawan melakukan korupsi, nepotisme, dan segala bentuk kecurangan lainnya.
Maka jangan heran jika negeri ini sulit bersih dari penyakit sosial. Karena benih-benih itu telah ditanam sejak dini, dalam sistem pendidikan yang jauh dari nilai-nilai Ilahiah.
Padahal Allah telah menurunkan Islam sebagai pedoman hidup yang sempurna. Dalam pandangan Islam, keberhasilan bukan diukur dari seberapa banyak kita memiliki dunia, melainkan seberapa besar kita menaati Allah.
Pendidikan dalam Islam bukan sekadar mencetak manusia pintar, tapi membentuk manusia yang berkepribadian Islam. Yaitu pribadi yang berpikir dan bersikap berdasarkan akidah Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, kejujuran adalah mahkota, amanah adalah nafas, dan takwa adalah tujuan hidup.
Andai negeri ini menerapkan sistem pendidikan Islam secara kaffah, generasi mudanya akan tumbuh menjadi insan-insan yang tidak hanya cerdas akalnya, tetapi juga jernih hatinya.
Mereka akan menjadikan teknologi bukan sebagai alat untuk menipu, tetapi sebagai sarana untuk menolong sesama dan meninggikan kalimat Allah.
Dengan kuatnya kepribadian Islam, anak-anak muda ini akan menjadi agen perubahan, pembawa cahaya di tengah gelapnya zaman, pembela kebenaran meskipun dunia menentangnya.
Kini saatnya kita bertanya pada diri sendiri, sampai kapan kita membiarkan generasi ini diasuh oleh sistem rusak yang hanya melahirkan kerakusan dan kehancuran?
Sampai kapan kita menutup mata, seolah-olah tidak ada yang salah, padahal kerusakan akhlak generasi muda semakin nyata di hadapan kita?
Sudah waktunya kita berjuang mengembalikan pendidikan kepada ruh Islam. Pendidikan yang berlandaskan akidah Islam, yang mengajarkan bahwa hidup adalah untuk beribadah kepada Allah, dan bahwa kebahagiaan sejati adalah mendapatkan rida-Nya.
Karena sejatinya, generasi emas hanya akan lahir dari sistem emas. Sistem emas itu bukanlah kapitalisme yang busuk, melainkan Islam yang mulia. Islam yang akan mengangkat manusia ke derajat yang tinggi, bukan dengan menipu, tetapi dengan jujur, amanah, dan penuh ketakwaan.
Inilah tugas besar kita: memperjuangkan agar sistem pendidikan Islam kembali hadir, agar kelak dunia ini dihiasi oleh generasi yang bukan hanya pintar, tetapi juga mulia di sisi Allah.
Wallahu a’lam Bissahawaab.[]