ETNIKOM.NET, JAKARTA – Di tengah padatnya lalu lintas dan deretan kafe modern di Jakarta Selatan, Jalan Bangka di kawasan Pela Mampang menyimpan kisah panjang yang tak banyak diketahui warga kota.
Nama jalan yang kini identik dengan gaya hidup urban itu sejatinya lahir dari perjalanan sejarah masyarakat Betawi yang sarat nilai perjuangan dan sosial.
Secara administratif, kawasan Bangka masuk wilayah Kelurahan Pela Mampang, Kecamatan Mampang Prapatan.
Namun sebutan “Bangka” sudah dikenal jauh sebelum batas administratif itu ditetapkan. Nama tersebut bukan sekadar penanda geografis, tetapi juga potret perubahan sosial dan migrasi penduduk di masa Batavia.
Ada dua versi populer tentang asal-usul nama Bangka.
Versi pertama, berasal dari kata “bangkai” atau “bangke”. Pada masa kolonial dan pendudukan Jepang, kawasan ini diduga menjadi tempat pembuangan mayat para pekerja rodi yang meninggal akibat kerja paksa.
Dari tragedi itu muncul istilah “tempat bangkai”, yang kemudian dalam dialek Betawi berubah menjadi “Bangka”.
Fakta ini diperkuat oleh lurah Bangka, Firdaus yang juga sebagai Plt Lurah Pela Mampang. Dalam sambungan telpon, Ahad (26/10/25), Firdaus menambahkan bahwa kata Bangka juga merujuk ke Perkampungan Bangka yang berada di wilayah pemerintahan Kelurahan yang dipimpinnya sekarang.
“Saya lebih cenderung penamaan jalan Bangka itu berawal dari ditemukannya banyak bangkai orang. Begitu yang saya dengar dari orang orang tua dulu.” Ujarnya.
Versi kedua, menautkan nama tersebut dengan komunitas pendatang dari Pulau Bangka. Sejak abad ke-19, banyak warga Bangka datang ke Batavia untuk berdagang dan bekerja di perkebunan. Mereka menetap di selatan kota dan membentuk kampung yang dikenal sebagai “kampung orang Bangka”.
Lama-kelamaan, nama itu melekat menjadi identitas kawasan hingga kini.
Kedua versi itu menunjukkan satu hal: nama-nama jalan di Jakarta selalu menyimpan memori sejarah. Di balik kata “Bangka” tersimpan kisah migrasi, penderitaan, dan adaptasi masyarakat urban yang membentuk wajah Jakarta modern.
Peran Tokoh dan Masyarakat Betawi
Perjalanan kawasan Pela Mampang tidak bisa dilepaskan dari kiprah masyarakat Betawi yang menjadi penduduk asli dan penggerak sosial di wilayah ini. Dalam lintasan waktu, banyak tokoh Betawi setempat berperan besar dalam memelihara nilai agama, budaya, dan kehidupan bermasyarakat — di antaranya alm. H. Solihun, alm. H. Husein, alm. H. Kari, alm. H. Hasan, alm. H. Hidayatullah, alm. H. Toha, alm. H. Safa, alm. KH. Buya, KH. Salman Yahya, KH. Hasib Hasan, alm. H. Arifin, alm. H. Fuad, alm. H.M. Ali, dan H. Ahmad Yani.
Mereka dikenal sebagai tokoh masyarakat, ulama, dan penggerak kegiatan sosial yang menjaga keharmonisan warga di tengah pesatnya modernisasi.
Peran mereka menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Betawi tidak sekadar pewaris tanah leluhur, tetapi juga pilar moral dan sosial yang menopang kehidupan kampung di tengah ekspansi kota. Nilai-nilai kebetawian — ta’dzim, gotong-royong, dan musyawarah — masih terpelihara lewat majelis-taklim, kegiatan kemasyarakatan, hingga pengelolaan lahan wakaf yang menjadi pusat kegiatan warga.
Sekretaris Majelis Adat Bamus Suku Betawi 1982, Lutfi Hakim, menegaskan dalam wawancaranya dengan ANTARA (23 Agustus 2023) bahwa, “orang Betawi harus diberi peran untuk berpartisipasi dalam membangun kota Jakarta.”
Pernyataan itu menggambarkan semangat yang juga hidup di Pela Mampang: warga Betawi bukan sekadar penonton perubahan, melainkan bagian penting dari denyut pembangunan.
Budaya Lokal dan Penataan Kawasan
Semangat itu juga tercermin dalam sejumlah program penataan lingkungan berkonsep budaya Betawi di Kelurahan Bangka. Pemerintah daerah bersama warga setempat menata gang, ruang publik, dan fasad rumah dengan sentuhan arsitektur dan motif Betawi.
Menurut laporan Beritajakarta.id, penataan itu melibatkan masyarakat dalam gotong-royong memperindah lingkungan, melatih remaja lokal dalam seni Betawi, dan menghidupkan kembali kegiatan budaya seperti lenong dan gambang kromong. Upaya tersebut menjadikan Bangka sebagai kawasan urban yang tetap berakar pada identitas aslinya.
Kehidupan Sosial dan Keagamaan
Kawasan Pela Mampang dan Bangka juga dikenal sebagai ruang perjumpaan antaragama yang relatif harmonis. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kecamatan Mampang Prapatan Dalam Angka 2023”, penduduk wilayah ini mayoritas beragama Islam, diikuti oleh komunitas Kristen Protestan, Katolik, serta sebagian kecil Buddha dan Hindu — memperlihatkan corak masyarakat urban Jakarta Selatan yang plural namun tetap menjunjung nilai toleransi dan silaturahim.
Kini, di Jalan Bangka, rumah-rumah tua peninggalan keluarga Betawi masih tersisa namun di deretan jalan bangka telah berakulturasi dengan kafe dan perkantoran.
Di balik nuansa modern itu, nama Bangka tetap menjadi pengingat bahwa kawasan ini dibangun di atas fondasi sejarah dan kebersamaan warga Betawi.
Ia adalah mosaik kecil dari perjalanan besar Jakarta — kota yang tumbuh dari rawa, ditempa oleh kerja keras rakyat, dan dijaga oleh ingatan mereka yang menolak dilupakan.[]
*Tulisan perdana ini akan berlanjut dengan menggali dari sumber sumber lain.
Penulis : Gofur









