Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

- Redaksi

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Penulis: Hildayanti Yunus, S.E | Staf Dinas Perpustakaan dan Kearsipan

 

ETNIKOM.NET, JAKARTA – Di tengah reruntuhan bangunan dan nyawa yang meregang di bawah debu, dunia kembali menjadi saksi bisu atas tragedi kemanusiaan yang berkepanjangan: Palestina, tanah yang tak pernah benar-benar damai, kini kembali mengucurkan darah dan air mata.

Belum cukup luka yang menganga, kini otoritas militer Israel secara terang-terangan melarang warga Palestina di Jalur Gaza untuk mendekati pusat-pusat distribusi bantuan. Di tengah kelaparan dan krisis yang kian menyesakkan, bahkan tangan-tangan yang terulur untuk bertahan hidup pun kini dianggap sebagai ancaman.

Larangan ini bukan sekadar kebijakan militer. Ia adalah simbol dari matinya rasa kemanusiaan. Ketika manusia dicegah dari menerima sepotong roti dan seteguk air, kita sedang menyaksikan dunia yang tidak lagi berdetak dengan hati nurani.

Kita menyaksikan manusia diperlakukan lebih rendah dari angka statistik, lebih kecil dari perhitungan politik, lebih hina dari ego kekuasaan.

Apakah manusia sudah lupa bagaimana rasanya lapar? Bagaimana rasanya kehilangan? Bagaimana rasanya berharap hanya untuk bertahan satu hari lagi?

Anak-anak Gaza tak hanya kehilangan rumah, tetapi juga kehilangan harapan. Ibu-ibu Gaza tak hanya menangisi suami atau anaknya yang gugur, tapi juga menahan tangis saat tak bisa memberi makan bayi yang menangis kelaparan.

Kita, umat manusia, masih berdiri di kejauhan—menonton, berdebat, atau diam—sementara rasa kemanusiaan itu terkubur bersama tubuh-tubuh yang tak sempat dikebumikan.

Dunia memekakkan telinga terhadap jeritan Gaza. Para pemimpin dunia mengecam, tapi tak bergerak. Media menyorot, tapi tak menyentuh nurani. Seolah-olah yang sedang mati di Palestina bukan hanya manusia, tapi nilai-nilai luhur yang menjadi dasar kemanusiaan itu sendiri.

Hari ini, Palestina tidak hanya menantang peluru, tapi juga keheningan dunia. Setiap larangan bantuan, setiap suara yang bungkam, setiap hati yang beku—adalah bagian dari kejahatan itu sendiri.

Maka tanyakanlah pada diri sendiri:
“Jika kita tak bisa membantu mereka hidup, apakah kita akan membiarkan mereka mati dalam diam?”

Tapi ini bukan hanya tentang konflik antara dua bangsa. Ini adalah cerminan dari dunia yang dipimpin oleh sistem yang telah kehilangan jiwanya.

Baca Juga :  Positive Approach to Social Change

Kapitalisme global, yang mengagungkan materi di atas nilai-nilai kemanusiaan, telah membentuk dunia yang hanya peduli pada keuntungan, pengaruh politik, dan kekuatan ekonomi. Di mata sistem ini, Palestina tidak menghasilkan profit. Mereka bukan pasar yang menggiurkan, bukan sekutu strategis. Mereka hanya angka—kerugian, kerusuhan, dan keributan. Maka tidak heran jika nyawa mereka dianggap murah.

Dalam dunia yang dikendalikan oleh kapitalisme, kemanusiaan dikalkulasi dengan logika kapitalisme sempit; siapa yang layak dibela, siapa yang pantas dikorbankan. Bantuan kemanusiaan pun dipolitisasi. Kebenaran dikaburkan oleh propaganda. Setiap bom yang dijatuhkan menjadi peluang bisnis bagi industri senjata.

Lebih jauh lagi, nasionalisme ala Barat—yang lahir dari semangat sekuler dan chauvinistik pasca-Revolusi Prancis—telah mematikan prinsip keadilan universal. Ia mengajarkan dunia untuk melihat manusia berdasarkan ras, warna kulit, dan kepentingan negara, bukan berdasarkan kebenaran dan nilai kemanusiaan sejati.

Nasionalisme seperti ini tidak akan pernah bersikap adil pada Palestina, sebab Muslim Palestina bukan bagian dari proyek peradaban mereka.

Superioritas kulit putih, ditambah kebencian yang diwariskan terhadap Islam, menjadikan penderitaan Palestina sebagai sesuatu yang “biasa saja” di mata media Barat. Sementara air mata satu orang dari dunia Barat bisa jadi berita utama, ribuan syuhada Palestina hanya menjadi catatan kaki—atau bahkan tidak disebut sama sekali.

Maka wajar jika dunia diam. Wajar jika pemimpin dunia hanya mengeluarkan kecaman tanpa tindakan. Karena dunia ini dibentuk oleh sistem yang tidak dibangun atas dasar nilai-nilai Ilahiah, melainkan oleh kekuasaan, materi, dan kebencian yang diwariskan turun-temurun.

Hari ini, Palestina adalah cermin—yang memantulkan wajah asli dunia:
Dunia yang gagal menjadi manusia. Dunia yang membiarkan anak-anak mati karena dianggap tidak penting. Dunia yang menimbang harga hidup dengan dolar dan senjata.

Tapi bagi kita yang masih memiliki iman dan hati, Palestina adalah medan ujian. Di sana, bukan hanya bom dan peluru yang meledak—tapi juga kehormatan, kejujuran, dan keberpihakan kita pada kebenaran.

Baca Juga :  Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia

Maka jangan diam. Karena diam di hadapan kezaliman adalah bentuk pembiaran, dan pembiaran adalah pengkhianatan terhadap nilai-nilai yang kita yakini.

Lebih menyakitkan dari serangan zionis adalah diamnya dunia Islam sendiri. Negeri-negeri Muslim, yang memiliki populasi lebih dari satu setengah miliar jiwa, tak mampu—atau tak mau—menggerakkan satu pun pasukan demi membela tanah suci ketiga, Al-Quds, dan umat yang diinjak-injak setiap hari.

Model negara yang kita warisi hari ini—nation-state ala kolonial, yang dibingkai oleh batas-batas buatan Sykes-Picot—tak mungkin menyerukan jihad.

Mereka bukanlah negara yang lahir untuk membela Islam, tapi justru untuk memecah belah umat Islam agar tak pernah lagi bersatu dalam satu tubuh, dan satu komando dalam ikatan islam global.

Lebih menyedihkan lagi, sebagian dari mereka justru bergandengan tangan dengan penjajah Yahudi, menjalin aliansi ekonomi, pertahanan, bahkan teknologi militer, yang ironisnya kemudian digunakan untuk mengawasi dan menekan rakyat mereka sendiri.

Jihad, yang dalam sejarah Islam adalah tameng kehormatan dan benteng perlindungan umat, kini dianggap ekstremisme. Padahal, justru karena jihad itulah Palestina dulu bisa dibebaskan, dan karena hilangnya jihad itulah Palestina kini menjadi ladang pembantaian tak berujung.

Sampai Kapan Kita Akan Diam?

Jika umat Islam menunggu para pemimpin boneka untuk bertindak, maka kita akan terus menunggu hingga anak-anak terakhir di Gaza gugur dalam diam. Tidak akan ada pembebasan Palestina melalui konferensi dan perjanjian damai yang disusun oleh para penjajah sendiri.

Apa yang dibutuhkan adalah kesadaran politik umat, bahwa selama kita masih menganggap model negara nasionalistik buatan Barat sebagai bentuk ideal, kita akan terus terjebak dalam kelemahan dan keterpecahan.

Palestina bukan hanya isu kemanusiaan. Ia adalah ujian iman, ujian keberanian, dan ujian pemikiran.

Selama umat Islam tidak kembali kepada Islam kaffah yang melahirkan kepemimpinan sejati dan berani menyerukan jihad, maka darah anak-anak Gaza akan terus membasahi tanah yang diberkahi itu tanpa pembela sejati. Wallahu a’lam Bisshawab.[]

Berita Terkait

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia
Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 
Fatherhood in Islam
Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel
Islam, Public Engagement and New York City Election 
Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial
Negara Prioritas yang Akan Dikunjungi Walikota New York Terpilih
Two State Is Not Really Solution For Palestine
Berita ini 16 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 17 Juni 2025 - 18:46 WIB

Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 

Selasa, 17 Juni 2025 - 11:04 WIB

Fatherhood in Islam

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

Senin, 16 Juni 2025 - 16:23 WIB

Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel

Senin, 16 Juni 2025 - 10:21 WIB

Islam, Public Engagement and New York City Election 

Berita Terbaru

Daerah

Jelang Munas 2026: DPP SWI Gelar Rapat Pleno Pengurus

Rabu, 18 Jun 2025 - 03:48 WIB