Penulis: Hessy Elviyah, S.S | Pendidik
ETNIKOM.NET, JAKARTA — Dalam laporan Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko), seperti ditulis CNBC.indonesia (11/05/2025), Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menyebutkan bahwa anak usia 10 tahun telah terlibat dalam praktik judi online. PPATK mengumpulkan data kuartal I-2025 dan menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 Tahun lebih dari Rp 2,2 miliar.
Keterlibatan anak usia dini dalam praktik judi online sudah termasuk darurat nasional. Fenomena ini bukan sekedar faktor kelalaian individu, namun kegagalan sistemik di berbagai sektor kehidupan baik pendidikan, ekonomi, regulasi negara sampai pola asuh keluarga.
Kegagalan Sistemik
Judol secara pasti merusak masa depan generasi. Anak usia rentan, belum matang secara kognitif dan emosional. Mereka mudah terjebak dan tergiur uang jajan yang banyak tanpa meminta kepada orang tua.
Dampak buruk akibat judol adalah anak rentan putus sekolah sebab kecanduan permainan judol. Selain itu, bisa jadi mereka akan terlibat dalam tindakan kriminal sebab harus mengumpulkan modal untuk bermain judol. Mereka juga rentan mengalami ganguan mental, seperti mudah cemas, depresi hingga suicidal.
Maraknya anak usia dini yang terlibat dalam praktik judol tak terlepas dari kemudahan dalam mengakses judi online. Banyak situs judol masuk melalui game online dan iklan.
Di sisi lain, banyak orang tua yang tidak menyadari anak mereka sedang bermain judol. Mereka menganggap anak mereka sedang bermain game, padahal sedang buang duit untuk judi online. Hal ini mencerminkan rendahnya literasi digital. Celah ini digunakan oleh pelaku industri judol untuk menjerat semua kalangan termasuk anak-anak menjadi mangsa dalam bisnis haram mereka.
Parahnya lagi, negara lalai menjalankan tugasnya memberikan sanksi tegas kepada para bandar judol. Pergerakan negara terkesan lamban. Masifnya konten dan transaksi digital tidak bisa diimbangi oleh lembaga pengawas. Bahkan tak jarang ada keterlibatan para penegak hukum dalam praktik haram ini. Kalau sudah begini, tak heran jika judol semakin marak bak jamur di musim penghujan.
Di sisi lain, industri judol seolah sengaja menargetkan anak-anak karena dianggap konsumen jangka panjang. Iming-iming hadiah cepat menjadi mantra mujarab untuk menggaet anak-anak yang masih mempunyai pemikiran labil.
Usia 10-16 tahun adalah masa-masa sedang aktif mengeksplore dunia digital. Namun, mereka tidak dibekali dengan edukasi digital sehingga tidak mampu memilah konten yang rusak atau yang bermanfaat untuk mereka. Ironisnya, krisis edukasi ini, tidak lantas menjadikan literasi digital sebagai prioritas nasional.
Meraka gampang tergiur dengan iklan yang disodorkan. Hal ini diperparah dengan arus sosial media yang kerap memperlihatkan gaya hedon para influencer yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi mereka untuk tampil sama.
Inilah dampak buruk kapitalisme. Sistem yang berorientasi pada profit senantiasa bergerak masif menyiarkan konten-konten dan mengelabui mangsanya dengan balutan hiburan padahal dijebak dalam pusaran judi online yang membuat kecanduan permainan dan merugi dalam hal finansial.
Lebih jauh, kapitalisme yang mengutamakan materi meniscayakan orang tua sibuk mencari pemasukan. Oleh karenanya, kesibukan orang tua menyebabkan normalisasi anak bermain gadget tanpa pengawasan. Parahnya, ada orang tua bahkan tidak mengetahui cara mengontrol aktivitas digital anak.
Hal ini menyebabkan anak leluasa bermain gadget tanpa batas. Mirisnya, orang tua baru menyadari ketika anak sudah kecanduan atau kehilangan uang banyak.
Demikianlah, jika kapitalisme yang merusak ini masih menjadi landasan hidup. Permasalahan judi online dan produk sistem yang melibatkan anak usia dini ini – jika tidak segera diatasi dengan serius akan menyebabkan hilangnya generasi muda dalam pusaran predator ekonomi digital. Generasi emas yang diwacanakan terancam berubah menjadi generasi cemas.
Islam Menyelamatkan
Judi (Al Qimar) adalah tindakan haram. Negara dalam Islam wajib menghapus semua sarana, media, serta sistem ekonomi yang dapat mengarahkan kepada praktik perjudian. Dasar hukum pelarangan judi terdapat dalam surat Al Baqarah ayat 219:
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: Pada keduanya terdapat dosa besar…”(QS. Al Baqarah: 219).
Begitu pula sabda Rasulullah Saw. “Siapa yang berkata kepada saudaranya: ‘Mari kita berjudi’, maka hendaklah ia bersedekah (sebagai kafarat).” (HR. Bukhari).
Dalam Islam, sanksi yang dikenakan terhadap anak yang sudah baligh kedapatan berjudi, dikenakan hukuman ta’zir – sanksi yang ditentukan oleh kepala negara atau kadi hisbah, berupa teguran keras, denda, pengasingan dari komunitas untuk sementara waktu, hukuman sosial dan lainnya.
Hal ini bertujuan untuk memberikan efek jera. Ta’zir bersifat fleksibel, disesuaikan dengan kerusakan yang dihasilkan, frekuensi perbuatan dan efek sosialnya.
Sedangkan bagi anak yang belum baligh tidak dikenakan ta’zir akan tetapi ia akan dibina, ditegur dan diarahkan orang tua, guru, masyarakat dan negara.
Adapun negara dalam konsep Islam, melakukan pencegahan terhadap praktik perjudian, salah satunya melalui pendidikan yang membentuk kepribadian Islam. Pendidikan dapat memberikan imunitas terhadap pandangan yang menyimpang dari Islam, sehingga anak bisa memfilter konten yang masuk melalui media.
Demikian pula media di negeri berbasis Islam tunduk kepada syariat. Konten yang dimuat tidak boleh mengandung nilai – nilai maksiat, manipulasi atau hal yang merusak masyarakat.
Demikianlah ketika Islam diterapkan, anak akan terjaga dan generasi emas akan tercipta. Islam sebagai sistem hidup sempurna akan menyelamatkan generasi dari jeratan judi online. In syaa Allah. Wallahu alam.[]