Dicari:  High Performing Individual Zaman Sekarang

- Redaksi

Rabu, 4 Juni 2025 - 10:04 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

 

Penulis: Sawqi Saad El Hasan, S. Hum, M.Si | Dosen Manajemen Bisnis Syariah STEBIS Bina Mandiri Cileungsi

 

ETNIKOM.NET, JAKARTA — Dosen STEBIS Bina Mandiri Cileungsi
Fikri Ahmad Baehaqi dulunya seorang driver ojek online yang rajin berbagi kisah keseharian di TikTok. Kontennya sederhana: menunggu order, menerobos hujan, bercanda dengan penumpang. Tapi justru dari kesederhanaan itulah, ia dikenal luas dan kini memiliki lebih dari 135 ribu pengikut.

Tanpa sensasi, tanpa editan berlebihan. Ketulusan dan keotentikan itulah yang membuat kisahnya menonjol. Kondisi tersebut tidak berlangsung lama, jalan karirnya berubah. Kini ia bekerja sebagai social media specialist di sebuah perusahaan startup.

Ceritanya membuktikan bahwa kesuksesan tidak selalu bermula dari ijazah atau almamater, melainkan dari kejelian membaca zaman.

Fenomena Fikri bukanlah anomali. Data BPS per Februari 2025 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan sarjana dan diploma IV justru melonjak ke 13,89%. Sementara lulusan SD dan SMP lebih cepat terserap di sektor informal.

Di sinilah kita melihat ironi pendidikan: gelar tinggi tidak otomatis membuka pintu karir. Di sisi lain, dunia kerja terus berubah, namun pendidikan kita masih terlalu sibuk mengejar hafalan dan urusan administrasi.

Kita hidup di era baru, era di mana fleksibilitas, kecepatan belajar dan relevansi keterampilan jauh lebih penting ketimbang selembar ijazah. Muncullah konsep High Performing Individual (HPI), sosok yang mampu beradaptasi cepat, siap beralih jalur dan punya keterampilan nyata.

Tapi kalau kita perhatikan, sosok Fikri bukan sekedar mampu membuat video. Dia memahami cara kerja algoritma TikTok, paham tren yang disukai penonton dan mengetahui bagaimana caranya memikat brand tertarik bekerja sama. Di sinilah letak konsep High Performing Individual yang sering dibicarakan. Tidak hanya soal bisa coding atau jago Excel, tapi lebih dari itu, harus punya “insting”, kepekaan dan kemampuan adaptasi.

Menurut data dari World Economic Forum tahun 2024, sekitar 60% pekerjaan masa depan membutuhkan hal-hal semacam itu. Literasi digital, berpikir kritis dan kecerdasan emosi. Kita tidak bisa lagi mengandalkan gelar karena dunia sudah berubah. Mereka yang bisa bertahan adalah yang cepat belajar dan tahu harus ke mana dan melakukan apa pada saat dunia mulai bergeser.

Baca Juga :  Gurita Narkoba dalam Sistem Sekuler Kapitalisme

Namun memiliki kecerdasan saja tidak cukup. Dunia butuh manusia yang punya arah, empati dan integritas. Ulul Albab, seperti yang disebut di surat Ali Imran ayat 190–191, bukan hanya soal logika tajam, tapi juga kesadaran hati dan nilai.

Pendidikan yang ideal seharusnya nggak berhenti di angka-angka cerdas, tapi bisa menciptakan manusia utuh yang memahami batas antara benar dan salah, berpikir dahulu sebelum bertindak. Tidak mudah dibelokkan walau sedang tertekan. Karena kejujuran, empati dan nilai hidup lainnya bukan pelengkap tapi nyawa dari proses belajar itu sendiri.

Indonesia tidak sendirian menghadapi masalah ketimpangan pendidikan dan lapangan kerja. Jika kita melihat Jerman, sistem pendidikan vokasi dual system menjadi kunci: 70% pembelajaran dilakukan langsung di industri. Siemens dan Bosch tidak tinggal diam. Mereka bersama-sama dengan SMK menyusun kurikulum, jadi lulusannya sekitar 80% langsung bisa bekerja.

Sementara di Singapura, 30% anggaran pendidikan disiapkan khusus buat latih ulang pekerja yang mulai tergeser otomatisasi. Singapura mengalokasikan 30% anggaran pendidikan untuk pelatihan re-skilling pekerja yang terdampak otomatisasi.

Program SkillsFuture memberikan kredit Rp75 juta per orang untuk kursus AI, robotika dan ekonomi hijau. Hasilnya, tingkat pengangguran pemuda Singapura hanya 4,9% (2024)—terendah di ASEAN.

Sayangnya, jalan menuju pendidikan ideal tidak mudah. Banyak kampus masih terikat pada standar lama seperti kurikulum kaku, dokumen akreditasi dan dosen yang enggan beradaptasi.

Praktik lapangan masih dianggap sekadar pelengkap. Padahal, dunia industri menuntut lebih: lulusan yang bisa langsung kerja, bukan sekadar lulus ujian. Sudah saatnya kita mengevaluasi ulang, apakah standar sekarang masih relevan? Atau justru menjadi penghambat kemajuan?

Standar akreditasi BAN-PT saat ini terlalu fokus pada kualitas masukan (input) seperti gelar dosen dan jumlah buku di perpustakaan serta mengabaikan luaran (output) dari sisi penyerapan lulusan dan inovasi penelitian.

Akibatnya, kampus lebih sibuk memoles dokumen administratif daripada meningkatkan kualitas pengajaran. Padahal, negara lain seperti Taiwan, Tiongkok dan Finlandia sudah beralih ke model akreditasi berbasis dampak sosial.

Kampus dinilai dari seberapa besar kontribusi risetnya pada industri lokal, jumlah startup yang lahir dari kampus dan tingkat kepuasan lulusan.

Baca Juga :  Mengapa Amerika Keberatan dengan GPN dan QRIS?

Solusi konkret yang bisa diadopsi oleh pemerintah bisa dimulai dari Sertifikasi Kompetensi Nasional dengan cara mengganti ukuran kelulusan dari SKS ke portofolio proyek nyata. Kemudian untuk pelaku usaha bisa diberikan insentif perusahaan dalam bentuk penurunan pajak bagi perusahaan yang merekrut lulusan vokasi atau membuka program magang bermutu.

Beberapa lembaga pendidikan mulai bergerak. SMK/SMA berbasis pesantren modern seperti Al Ashriyyah Nurul Iman di Parung, Bogor, mereka tidak sekadar mengajarkan bisnis dan teknologi, tetapi juga menanamkan nilai integritas, di mana siswa bikin produk sendiri, kemudian menjualnya lewat platform yang mereka bangun sendiri juga dan yang paling penting, mereka dibiasakan berdagang dengan hati karena mereka tahu untung itu penting, tapi bukan segalanya.

Kita semua perlu mengubah cara pandang. Gelar memang penting, tapi jangan dianggap sebagai tujuan akhir. Gelar merupakan alat untuk melangkah lebih jauh. Dunia kerja tidak selalu menerima lulusan dengan tangan terbuka jika tidak memiliki keterampilan nyata.

K.H. Ahmad Dahlan pernah bilang, “Jadilah manusia yang hidup, yang menghidupkan dan memberi kehidupan,” Bertolak belakang dengan manusia yang sibuk mengejar angka dan prestasi, tetapi hatinya kosong, hidupnya datar dan tidak punya makna yang bisa dibagikan.

Teruntuk mahasiswa, belajarlah dengan sungguh-sungguh tapi jangan hanya demi IPK. Hidup lebih luas dari sekedar pencapaian di transkrip nilai. Teruntuk orang tua, cobalah beri anak ruang untuk menjalan pilihan hidupnya sendiri. Walaupun jalurnya tidak terlihat keren atau populer; karena sering kali, potensi paling besar justru tersembunyi di tempat yang jarang dilirik.

Kemudian untuk sekolah serta kampus, peran kalian bukan hanya mencetak ijazah, tapi mempersiapkan manusia yang tahan banting, siap hadapi peliknya hidup dan segala rupa tantangan zaman.

Kisah Fikri menunjukan kalau masa depan itu tidak ditakar berdasarkan di mana kita lahir dan statusnya apa, tapi dari seberapa berani kita menentukan langkah, mampu belajar dan berusaha merintis jalan sendiri karena perubahan besar itu biasanya datang dari langkah kecil yang terus dijalankan.

Poses pendidikan yang benar bukan hanya soal menambah ilmu, tetapi soal membantu orang dalam menemukan arah hidupnya.[]

Berita Terkait

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia
Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 
Fatherhood in Islam
Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani
Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel
Islam, Public Engagement and New York City Election 
Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial
Negara Prioritas yang Akan Dikunjungi Walikota New York Terpilih
Berita ini 2 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 17 Juni 2025 - 18:46 WIB

Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 

Selasa, 17 Juni 2025 - 11:04 WIB

Fatherhood in Islam

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

Senin, 16 Juni 2025 - 16:23 WIB

Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel

Senin, 16 Juni 2025 - 10:21 WIB

Islam, Public Engagement and New York City Election 

Berita Terbaru

Daerah

Jelang Munas 2026: DPP SWI Gelar Rapat Pleno Pengurus

Rabu, 18 Jun 2025 - 03:48 WIB