Penulis: Nisrina Nitisastro, S.H | Konsultan Hukum, Aktivis Muslimah
ETNIKOM.NET – Beberapa pekan terakhir kita disodorkan sebuah pemandangan bagaimana ribuan orang berdesakan dalam arena job fair sekaligus menjadi sorotan publik. Di Jakarta, Bandung, Surabaya, dan sejumlah kota lainnya, gedung-gedung pameran dipenuhi lautan manusia—anak muda, fresh graduate, bahkan para mantan karyawan korban PHK—semua datang dengan satu harapan: pekerjaan.
Sekilas, ini terlihat sebagai pemandangan yang optimistik. Namun di balik semangat itu, tersembunyi kenyataan getir: Indonesia sedang berada dalam darurat ketenagakerjaan. Membludaknya job fair bukan sekadar cermin antusiasme, melainkan sinyal keras bahwa negara ini sedang tidak baik-baik saja.
Krisis di Balik Antrean Panjang
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2024 mencatat 7,2 juta pengangguran terbuka di Indonesia. Sementara itu, hampir 10 juta anak muda usia 15–24 tahun masuk kategori NEET (Not in Employment, Education, or Training). Angka ini setara dengan 1 dari 5 pemuda Indonesia yang tidak punya aktivitas produktif apa pun.
Di sisi lain, perusahaan-perusahaan besar justru mulai mengurangi rekrutmen. Sepanjang 2023 hingga 2024, lebih dari 52.000 kasus PHK tercatat resmi, dengan sektor manufaktur dan teknologi sebagai penyumbang terbesar. Bahkan, 69% perusahaan di Indonesia menghentikan proses rekrutmen karyawan baru seperti dilaporkan Bisnis.com.
Kondisi ini membentuk satu ironi besar, rakyat berbondong-bondong mencari kerja, sementara pasar kerja justru menyempit.
Negara Absen dalam Tugasnya
Fenomena ini bukan sekadar masalah ekonomi, melainkan kegagalan sistemik. Negara seharusnya hadir sebagai penjamin kesejahteraan, bukan sekadar fasilitator. Namun yang terjadi hari ini, negara lebih sibuk mengatur pasar bebas ketimbang menjamin hidup rakyatnya.
Padahal, dalam Islam, tanggung jawab pemimpin terhadap kebutuhan dasar rakyat sangat jelas. Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggingjawaban atas rakyat yang dia urus.” (HR. Bukhari & Muslim)
Bahkan Allah SWT memerintahkan pemimpin untuk memastikan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.” (QS. An-Nisa:5)
Dalam tafsirnya, para ulama menjelaskan bahwa “pokok kehidupan” (qiyaman) mencakup harta, pekerjaan, dan sarana produktif yang menjadi penopang kehidupan rakyat. Negara tidak boleh menyerahkannya pada mekanisme pasar atau individu semata. Harus ada intervensi aktif.
Sistem Islam Menjamin Kesejahteraan
Dalam sistem Khilafah, negara bertindak aktif dalam menciptakan dan menjamin lapangan kerja, dengan kebijakan-kebijakan berbasis syariat yang menyentuh akar masalah. Di antaranya:
1. Negara Wajib Menyediakan Pekerjaan
Bekerja adalah hak sekaligus kewajiban bagi laki-laki. Jika seseorang tidak mendapat pekerjaan setelah berusaha, maka negara wajib mencarikan atau menyediakannya.
Dalam Al-Mu’tamad fi Ushul ad-Din, disebutkan bahwa Umar bin Khattab pernah memberikan pekerjaan kepada seorang lelaki yang menganggur karena tidak memiliki ladang atau modal.
2. Kepemilikan Umum Dikelola Negara
Sumber daya alam seperti tambang, minyak, dan gas tidak boleh dikuasai individu atau swasta, apalagi asing. Rasulullah SAW bersabda:
“Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR. Abu Dawud)
Hasil pengelolaan milik umum ini digunakan untuk menciptakan lapangan kerja, membiayai pendidikan dan kesehatan gratis, serta membangun infrastruktur yang memperluas lapangan ekonomi rakyat.
3. Distribusi Kekayaan, Bukan Sekadar Pertumbuhan
Sistem islam tidak hanya mengejar angka pertumbuhan, tapi menjamin distribusi kekayaan yang adil. Zakat, kharaj, dan jizyah menjadi instrumen riil untuk menopang kelompok miskin dan membuka akses mereka ke ekonomi produktif.
Saatnya Evaluasi Sistem
Membludaknya job fair hari ini bukan sekadar agenda tahunan pencari kerja, tapi cermin sistem ekonomi yang tidak lagi mampu menjawab kebutuhan rakyat. Negara hanya menjadi “penonton netral” dalam arena kapitalisme yang semakin kejam. Rakyat dibiarkan bersaing dengan minimnya jaring pengaman sehingga rakyat hidup dalam ketidakcukupan alias tidak sejahtera.
Sudah saatnya kita berhenti menambal sistem yang rusak. Islam menawarkan jalan alternatif menyeluruh di mana negara hadir sebagai penjamin kesejahteraan, bukan pelayan korporasi. Negara bukan sekadar pembuat aturan, tapi pelindung rakyat.
“Sesungguhnya pemimpin kalian adalah perisai, tempat berlindung dan berperang di belakangnya.” (HR. Muslim)
Kita butuh pemimpin yang menjadi perisai rakyat. Hal itu hanya akan terwujud dalam sistem yang meletakkan syariat sebagai dasar—bukan keuntungan semata.
Maka, saat ribuan orang mengantre dalam job fair tersebut tidak selayaknya kita hanya mengatakan, “Wah, antusiasme tinggi. Tapi tanyakan juga, “Kenapa negara tak kunjung mampu menciptakan pekerjaan untuk mereka? “