Penulis: Azizah Nur Fikriyyah | Mahasiswi & Aktivis Dakwah
ETNIKOM.NET, JAKARTA — Pendidikan adalah pilar utama kemajuan suatu bangsa. Namun realitas di Indonesia menunjukkan ironi yang menyedihkan: rakyat didorong untuk menjadi cerdas, tetapi akses terhadap pendidikan berkualitas masih menjadi kemewahan yang sulit dijangkau. Ketimpangan ini menjadi bukti bahwa sistem yang ada saat ini belum mampu menjamin pendidikan sebagai hak dasar seluruh warga negara.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan berbagai sumber berita nasional, rata-rata lama sekolah penduduk Indonesia hanya sekitar 9 tahun, setara dengan jenjang SMP. Ini artinya, mayoritas rakyat Indonesia belum mampu menyelesaikan pendidikan hingga jenjang SMA, apalagi perguruan tinggi. Hal ini menjadi indikator rendahnya tingkat akses dan keberhasilan pendidikan nasional.
Faktor utama dari rendahnya angka rata-rata lama sekolah adalah kemiskinan yang masih tinggi dan pemerataan layanan pendidikan yang belum tercapai. Di banyak wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), fasilitas pendidikan sangat minim, jumlah guru terbatas, serta infrastruktur pendidikan tidak memadai.
Anak-anak di daerah terpencil harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk bisa belajar di sekolah dasar, sementara pendidikan menengah dan tinggi hampir mustahil dijangkau karena tidak tersedia di wilayah mereka.
Pemerintah memang telah meluncurkan sejumlah program seperti Kartu Indonesia Pintar (KIP), sekolah gratis, dan berbagai bantuan lainnya. Namun, kenyataannya program-program ini belum mampu mengatasi akar persoalan.
Pertama, karena distribusinya yang tidak merata dan kerap kali tidak menyentuh masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Kedua, karena program tersebut masih berbasis sistem kapitalistik yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat.
Dalam sistem kapitalisme, pendidikan diposisikan sebagai alat produksi tenaga kerja murah untuk memenuhi kebutuhan industri dan pasar. Oleh karena itu, kurikulum sering kali dibuat sesuai dengan kebutuhan ekonomi pasar, bukan untuk membangun manusia yang utuh secara intelektual, spiritual, dan moral.
Sekolah dan universitas swasta tumbuh pesat dengan biaya selangit, sedangkan pendidikan negeri terus mengalami pemotongan anggaran dan pembatasan fasilitas.
Swastanisasi pendidikan memperburuk keadaan. Lembaga-lembaga pendidikan berkualitas sebagian besar dikelola oleh sektor swasta dengan biaya tinggi yang tidak terjangkau oleh sebagian besar rakyat.
Pendidikan menjadi hak istimewa bagi mereka yang mampu membayar, bukan hak universal bagi setiap anak bangsa. Situasi ini semakin memperlebar jurang ketimpangan sosial, ekonomi, dan intelektual antara si kaya dan si miskin.
Lalu, bagaimana solusi Islam dalam menyelesaikan problem ini?
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok yang harus dijamin oleh negara. Pendidikan dalam Islam bukan hanya hak setiap individu, tapi juga kewajiban negara untuk memfasilitasi, mengelola, dan menyediakannya secara gratis dan merata.
Negara tidak boleh menyerahkan urusan pendidikan kepada pihak swasta apalagi asing, karena hal ini akan menjadikan pendidikan sebagai lahan bisnis yang mengorbankan kepentingan umat.
Tujuan pendidikan dalam Islam adalah mencetak manusia yang memiliki tiga karakter utama: berilmu, bertakwa, dan memiliki keterampilan hidup.
Pendidikan tidak hanya menekankan aspek kognitif atau teknis, tetapi juga pembinaan spiritual dan moral agar peserta didik tumbuh menjadi pribadi yang sadar akan tanggung jawabnya kepada Allah dan kepada masyarakat.
Islam memastikan bahwa setiap individu, tanpa memandang latar belakang sosial dan ekonomi, memiliki akses yang sama terhadap pendidikan dasar, menengah, hingga tinggi.
Negara membangun lembaga pendidikan secara merata di seluruh wilayah, termasuk daerah-daerah terpencil. Guru-guru akan diangkat sebagai aparatur negara dengan gaji dan fasilitas yang layak agar mereka dapat mengabdi dengan optimal.
Dalam Islam, dana pendidikan diambil dari Baitul Mal (kas negara Islam) yang memiliki beberapa pos pendapatan seperti fai’, kharaj, dan kepemilikan umum.
Pos-pos ini memberikan pemasukan tetap dan stabil bagi negara untuk membiayai kebutuhan publik, termasuk pendidikan. Negara juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan suasana keilmuan yang kondusif, menyediakan buku-buku dan literatur ilmiah yang murah atau gratis, serta menjamin pengembangan riset dan inovasi yang berpihak pada kemaslahatan umat.
Al-Qur’an dan hadits menegaskan pentingnya ilmu pengetahuan. Allah berfirman:
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Rasulullah SAW juga bersabda, “Menuntut ilmu adalah kewajiban atas setiap Muslim.” (HR. Ibnu Majah)
Dalam sejarah peradaban Islam, sistem pendidikan Islam telah terbukti melahirkan ilmuwan-ilmuwan besar seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Al-Khawarizmi, dan banyak lainnya.
Mereka tidak hanya menguasai ilmu-ilmu keislaman tetapi juga unggul dalam bidang sains, matematika, kedokteran, dan teknologi. Ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Islam tidak bertentangan dengan kemajuan, bahkan justru mendorongnya dalam koridor ketakwaan.
Dengan demikian, untuk keluar dari krisis akses dan kualitas pendidikan, bangsa ini perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap sistem pendidikan yang kapitalistik dan menggantinya dengan sistem Islam yang menjadikan pendidikan sebagai tanggung jawab negara dan hak rakyat.
Hanya dengan sistem Islam, pendidikan akan kembali pada tujuan sucinya: membentuk manusia beriman, berilmu, dan bermanfaat bagi umat.
Selama sistem kapitalistik tetap dijadikan dasar dalam pengelolaan pendidikan, rakyat akan terus terpinggirkan dari hak mereka untuk belajar.
Maka, saatnya kita membuka mata dan menyadari bahwa Islam bukan hanya solusi spiritual, tetapi juga solusi praktis dan rasional untuk menyelesaikan problem pendidikan secara mendasar, menyeluruh, dan tuntas. Wallahua’lam bishshowwab.[]