Belanda, Dari Rempah-Rempah Hingga Neo Kolonialisme Penjajah

- Redaksi

Rabu, 28 Mei 2025 - 10:57 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Penulis: Ummu Syam | Aktivis Muslimah Cibarusah

 

ETNIKOM.NET, JAKARTA — Barangkali kita sudah familiar dengan sejarah negeri ini. Buku-buku sejarah di sekolah memberikan pengetahuan bahwa motif Belanda menjajah Indonesia karena tanah leluhur ini menyimpan kekayaan alam yang melimpah dengan rempah-rempah.

Ekssploitasi rempah-rempah ini diprakarsai oleh perusahaan dagang Belanda—VOC. VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), perusahaan dagang asal Belanda yang didirikan pada 20 Maret 1602.

Perusahaan multinasional ini didirikan sebagai respon terhadap situasi ekonomi dan geopolitik yang kompleks di Eropa pada masa itu, sehingga Belanda dapat memperluas jalur perdagangan dan meningkatkan pengaruh global.

Dari mengeksploitasi rempah-rempah ini, VOC bisa mencapai keuntungan sebesar 78 juta gulden. Jika dikonversi ke dalam nilai inflasi saat ini, angka tersebut setara dengan USD 7,9 triliun. Bahkan keuntungan ini ditaksir lebih besar dari gabungan beberapa perusahaan besar di dunia moderen seperti Amazon, Apple, dan Microsoft.

Melihat keuntungan yang fantastis tersebut, maka sebuah pertanyaan muncul, jika Indonesia bukanlah penghasil rempah-rempah, akankah Belanda tetap menjajah Indonesia?

Melalui Oktrooi (piagam) yang dikeluarkan pada 20 Oktober 1602, VOC mendapatkan hak-hak istimewa termasuk hak monopoli perdagangan dan hak kedaulatan.

Hak kedaulatan ini yang memberikan kebebasan kepada VOC untuk memiliki angkatan militer, bernegosiasi dengan negara lain untuk menyatakan perang dan mengadakan perdamaian, memiliki mata uang, memungut pajak, merebut dan menduduki daerah asing, dan memerintah daerah-daerah tersebut.

Tidak mengherankan jika banyak sejarawan yang mengistilahkan VOC sebagai “negara di dalam negara”.

Dengan dan atas nama hak monopoli dan hak kedaulatan tersebut VOC dapat menjalankan strategi kolonialisme yang efektif dan strategis. Sehingga, sekalipun Indonesia bukanlah penghasil rempah-rempah, penjajahan di Indonesia merupakan bagian dari strategi ini. Strategi ini dimanfaatkan guna memperluas kekuasaan politik dan ekonomi di Asia Tenggara.

Baca Juga :  Zohran Mamdani, Sang Kuda Hitam dalam Pemilihan Wali Kota New York

Pada intinya tujuan VOC datang ke wilayah Nusantara bukan hanya karena motif ekonomi, melainkan memiliki motif yang lebih besar lagi yakni menerapkan sistem politik (ideologi) yang diemban Belanda atas wilayah jajahannya.

Sistem politik tersebut bertujuan menstabilkan kekuasaan dan meningkatkan keuntungan ekonomi Belanda, sehingga dapat mempertahankan dominasi dan pengaruhnya di wilayah-wilayah jajahan. Hal ini dapat dilihat pasca VOC bangkrut di tahun 1799.

Setelah VOC dibubarkan, pemerintah kolonial Belanda mengambil alih kendali langsung atas wilayah Indonesia dan membentuk pemerintahan Hindia Belanda.

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, mereka melakukan modernisasi administrasi dan penataan ulang struktur kekuasaan di Hindia Belanda, menerapkan kebijakan-kebijakan yang lebih terstruktur dan sistematis untuk memperkuat kontrol dan eksploitasi sumber daya di wilayah jajahan.

Berabad-abad kemudian, tindakan represif pemerintahan kolonial Belanda ini mengundang perlawanan dari seluruh rakyat Indonesia. Sampai di tahun 1939, seperti dikutip dari buku “Invasi Politik dan Budaya Asing” karya Salim Frederics; Inggris, Belanda, dan Perancis bersepakat untuk secara perlahan membiarkan negara-negara jajahan mereka menentukan nasibnya sendiri.

Setelah melalui proses dekolonisasi panjang penuh tantangan yang melibatkan pertempuran sengit, perundingan diplomatik, dan upaya diplomasi intensif, Indonesia akhirnya berhasil meraih kemerdekaannya dari Belanda dan menjadi negara yang berdaulat penuh pada tahun 1945.

Hanya saja, di balik kemerdekaan ini tersimpan siasat licik yang dirancang Belanda untuk mempertahankan pengaruhnya di Indonesia. Inilah fase neo-kolonialisme; melakukan penjajahan pemikiran melalui invasi politik dan budaya.

Baca Juga :  Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial

Hal ini bisa dilihat dari corak kehidupan masyarakatnya. Dimulai dari sistem yang diterapkan dalam bernegara dan berekonomi menggunakan sistem demokrasi-kapitalis, gaya berbusana yang mengandung unsur ketelanjangan, pola pikir masyarakat yang materialistis, tayangan televisi yang mengadaptasi dari Barat, hingga sistem pendidikan berbasis sekuler.

Padahal, Indonesia adalah negara dengan mayoritas muslim yang sudah seyogyanya mengambil sistem politik Islam untuk diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Islam mengajarkan konsepsi spiritual (aqidah ruhiyyah) dan konsepsi politik (aqidah siyyasiyah), di mana spiritualitas dan politik merupakan bagian integral dalam ajaran Islam. Sedangkan agama lain hanya mengajarkan konsepsi spiritual.

Islam sebagai ajaran politik dan spiritual (agama) dapat dibuktikan secara normatif, historis, dan empiris. Secara normatif, Islam memiliki pemikiran dan metode yang mencakup akidah dan pemecahan masalah.

Konsep ini meliputi metode menerapkan, mempertahankan, dan mengemban akidah dan hukum syara’. Secara historis, banyak bukti yang dapat dilihat dalam catatan sejarah sebagaimana yang dibukukan oleh ahli sejarah, baik dalam sirah maupun tarikh. Secara empiris dapat dibuktikan melalui peran lembaga pengadilan dan melalui institusi pemerintahan.

Di samping itu, masyarakat Indonesia yang majemuk tidak menjadi halangan untuk diterapkan Islam. Karena Islam adalah agama yang mampu melewati batas-batas kemanusiaan—Islam tidak akan pernah memarjinalkan manusia dari sisi kesukuan, ras, agama, maupun wilayah.

Maka, bisa disimpulkan bahwa tujuan penjajahan bukan sekedar mengeksploitasi sumber daya alam—rempah-rempah, melainkan merealisasikan agenda yang jauh lebih berbahaya yaitu menerapkan sistem politik dan budaya ala Barat.

Penjajahan pemikiran inilah yang berhasil memperdaya sehingga masyarakat merasa sedang tidak dijajah. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Berita Terkait

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia
Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 
Fatherhood in Islam
Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani
Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel
Islam, Public Engagement and New York City Election 
Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial
Negara Prioritas yang Akan Dikunjungi Walikota New York Terpilih
Berita ini 22 kali dibaca

Berita Terkait

Selasa, 17 Juni 2025 - 18:46 WIB

Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 

Selasa, 17 Juni 2025 - 11:04 WIB

Fatherhood in Islam

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

Senin, 16 Juni 2025 - 16:23 WIB

Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel

Senin, 16 Juni 2025 - 10:21 WIB

Islam, Public Engagement and New York City Election 

Berita Terbaru

Daerah

Jelang Munas 2026: DPP SWI Gelar Rapat Pleno Pengurus

Rabu, 18 Jun 2025 - 03:48 WIB