Netanyahu: Tak Ada Tempat untuk Kekuatan Islam Global di Timur Tengah

- Redaksi

Selasa, 13 Mei 2025 - 15:23 WIB

facebook twitter whatsapp telegram line copy

URL berhasil dicopy

facebook icon twitter icon whatsapp icon telegram icon line icon copy

URL berhasil dicopy

 

Penulis: Ns. Sarah Ainun, M.Si | Pegiat literasi

ETNIKOM.NET, JAKARTA – Di berbagai penjuru dunia, aksi bela Palestina dan penyelenggaraan konferensi mengenai krisis Gaza semakin marak digelar, mencerminkan tumbuhnya kesadaran kolektif umat atas penderitaan yang tak kunjung menemukan jalan keluar.

Seruan untuk mengirim pasukan (jihad), bahkan hingga pada teriakan menegakkan kekuatan islam global, mulai terdengar di sejumlah tempat, menembus dinding-dinding tipis peradaban yang konon modern tapi nyatanya ringkih.

Barat, dengan senyum tipis yang menyimpan kegelisahan, perlahan mulai menyadari bahwa Gaza bukan sekadar luka di jantung Timur Tengah, tetapi juga telah membuka pintu yang lebih lebar bagi tumbuhnya kesadaran umat akan urgensi penegakan khilafah.

Lebih dari itu, krisis Gaza justru telah menjadi lonceng kematian bagi peradaban Barat, sekaligus menandai terbitnya fajar bangkitnya kembali peradaban Islam dalam sebuah kekuatan skala global.

Upaya untuk mempertahankan narasi lama mengenai demokrasi, perdamaian, dan hak asasi manusia semakin menghadapi tantangan serius ketika realitas di lapangan menunjukkan kesenjangan yang tajam antara retorika dan kenyataan.

Faktanya, janji-janji tersebut tak lebih dari ilusi yang dirancang untuk menciptakan kesan stabilitas dan keadilan, sementara pada saat yang sama, ketidakadilan global, standar ganda, serta dominasi kekuatan Barat kerap diterapkan guna mempertahankan pengaruh dan kepentingan geopolitik Barat yang berkarakter kolonial (negara penjajah), khususnya di negeri-negeri Muslim.

Di tengah meningkatnya tensi global, suara-suara dari dunia Islam tidak lagi sebatas keluhan, ratapan, doa, donasi, seruan boikot, atau diplomasi yang tak kunjung menghasilkan solusi, tetapi secara perlahan berkembang menjadi panggilan yang lebih terstruktur: tuntutan atas kedaulatan yang sejati, persatuan umat, serta peran strategis dalam kancah internasional.

Dengan demikian, solusi-solusi yang disuarakan pun mulai bergerak melampaui ranah praktis, merambah pada ranah ideologis yang berupaya menata ulang tatanan dunia melalui upaya menggali kembali warisan sejarah Islam sebagai basis ideologis untuk membangun tatanan dunia baru yang lebih adil dan berkeadilan.

Baca Juga :  Ironi Pemerataan Pendidikan di Tengah Ketimpangan Sosial

Sejarah mencatat bahwa peradaban Islam pernah berdiri tegak selama berabad-abad, tidak hanya sebagai kekuatan politik dan militer, tetapi juga sebagai pusat keilmuan, kebudayaan, dan keadilan sosial.

Sistem pemerintahan Islam memainkan peran sentral dalam menyatukan berbagai bangsa, bahasa, dan etnis di bawah satu visi peradaban yang mengedepankan keadilan dan kesejahteraan umat.

Fenomena ini semakin terbaca oleh Israel, sebagai instrumen bagi kekuatan Barat dalam mewujudkan ambisi untuk menguasai sebagian kawasan dan geopolitik Timur Tengah. Seiring waktu, perlawanan dari berbagai faksi di kawasan—seperti di Lebanon, Yaman, dan Suriah—kian menguat, terutama sebagai respons atas agresi brutal yang dilakukan oleh Israel di Gaza pasca pecahnya perang Toufan Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.

Sebagaimana dilaporkan oleh IRNA.ir.news pada 7 Mei 2025, agresi berkelanjutan yang dilakukan oleh rezim Israel, termasuk perluasan operasi militer di luar Gaza, menjadi bukti nyata dari agenda agresif dan ekspansionis rezim pendudukan tersebut terhadap bangsa-bangsa Arab dan umat Islam. Hal ini dinilai sebagai bagian dari upaya untuk memecah belah kawasan dan melemahkan solidaritas regional.

Di tengah situasi ini, mulai bermunculan seruan di berbagai penjuru dunia Islam untuk menyatukan kembali negeri-negeri Muslim melalui penerapan sistem pemerintahan Islam global sebagai solusi untuk mengakhiri penjajahan. Seruan ini memicu respons keras dari Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.

Ia menyatakan, “Saya telah berulang kali menegaskan bahwa kami akan mengubah wajah Timur Tengah, dan itulah yang sedang kami lakukan saat ini. Berkat ketegasan dan keputusan pemerintah saya, kami telah memutus poros kejahatan di Gaza, Lebanon, Suriah, dan di tempat lain. Kami mengenal musuh-musuh kami dengan baik, dan kami tidak akan mentolerir keberadaan kekhilafahan, baik di sini maupun di Lebanon. Kami berupaya memastikan kelangsungan hidup Israel.” (Arrahman.id, 23 April 2025).

Pernyataan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu yang menolak dengan tegas kemungkinan berdirinya persatuan dan kekuatan islam global  di kawasan Timur Tengah bukan sekadar retorika politik biasa, melainkan mencerminkan ketakutan mendalam Israel — sekaligus kekuatan Barat — terhadap bangkitnya kesadaran umat Islam.

Baca Juga :  Make America Great Again (MAGA) ala Donald Trump

Penolakan ini mencerminkan pengakuan tersirat atas potensi besar yang dimiliki umat Islam ketika kesadarannya tumbuh, bersatu, dan bangkit dalam satu visi, terutama saat wacana jihad serta penegakan kedaulatan Islam global kembali mengemuka sebagai solusi utama untuk mengakhiri penjajahan yang dirasakan semakin luas di berbagai belahan dunia Muslim.

Tidak mengherankan bila Netanyahu menegaskan bahwa pemerintahannya akan berupaya keras “mengubah wajah Timur Tengah” dan tidak akan mentolerir lahirnya unifikasi kekuatan islam global, baik di Palestina maupun di kawasan sekitarnya karena potensi terbentuknya kekuatan alternatif yang mampu menggugat tatanan global yang selama ini didominasi oleh paradigma liberal-sekuler serta mengubah arsitektur geopolitik global yang telah lama mereka bangun.

Kini, umat mesti sadar bahwa tawaran-tawaran Barat bagi Palestina hanyalah ilusi yang menipu, jauh dari hakikat penyelesaian sejati. Bersamaan dengan itu, kerusakan dan kehancuran yang disemai kapitalisme liberal sekuler di negeri-negeri Muslim kian nyata, menggerogoti sendi-sendi kehidupan tanpa ampun.

Sudah saatnya umat kembali disadarkan bahwa tegaknya persatuan islam global bukan sekadar wacana politik, melainkan ajaran luhur dari Allah SWT serta bisyarah Rasulullah SAW yang pasti akan terwujud.

Ketakutan musuh-musuh Islam, termasuk para penguasa muslim yang berkhianat demi cinta mereka pada kekuasaan dan dunia, tidak lain menunjukkan betapa agungnya kedudukan khilafah dalam Islam.

Namun, terwujudnya cita-cita ini memerlukan perjuangan yang tulus dan tak mudah, sebagaimana Rasulullah SAW dan para sahabat dahulu mengorbankan harta bahkan darah mereka demi menegakkan hukum Islam yang membawa rahmat bagi seluruh alam.

Oleh karena itu, sudah sepatutnya umat mempersiapkan diri dengan kesungguhan, kesabaran, dan pengorbanan untuk menyongsong terwujudnya janji agung ini. Bersatunya kekuatan islam global dalam satu bendera tauhid. Wallahu a’lam bish-shawab.[]

Berita Terkait

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia
Unsur Fisik dan Metafisik dari Sebuah Proses Pendidikan 
Fatherhood in Islam
Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani
Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel
Islam, Public Engagement and New York City Election 
Vrije Man Sang Pemberontak Sejak Zaman Kolonial
Negara Prioritas yang Akan Dikunjungi Walikota New York Terpilih
Berita ini 6 kali dibaca

Berita Terkait

Rabu, 18 Juni 2025 - 03:24 WIB

Efek Domino Geopolitik Regional Iran–Israel Bagi Indonesia

Selasa, 17 Juni 2025 - 11:04 WIB

Fatherhood in Islam

Senin, 16 Juni 2025 - 19:13 WIB

Perlawanan Palestina, Simbol Kehidupan di Tengah Kematian Nurani

Senin, 16 Juni 2025 - 16:23 WIB

Kesombongan Netanyahu dan Kehancuran Zionis Israel

Senin, 16 Juni 2025 - 10:21 WIB

Islam, Public Engagement and New York City Election 

Berita Terbaru

Daerah

Jelang Munas 2026: DPP SWI Gelar Rapat Pleno Pengurus

Rabu, 18 Jun 2025 - 03:48 WIB